Politica News – Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belem, Brasil, menjadi momentum krusial bagi diplomasi iklim Indonesia di kancah internasional. Di tengah alotnya negosiasi antarnegara, Indonesia justru tampil lebih progresif, menunjukkan posisi yang semakin kuat dalam isu iklim global.
Meskipun COP30 belum berhasil menuntaskan kebuntuan teknis terkait pasal-pasal penting dalam Paris Agreement, terutama Artikel 6 tentang mekanisme perdagangan karbon, Indonesia memilih jalur ganda: negosiasi dan soft diplomacy. "Dalam konteks multilateral, banyak agenda mengalami stagnasi. Karena itu Indonesia menggunakan dua jalur, yakni negosiasi dan soft diplomacy," ujar Hanif dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9).

Selama COP30, Indonesia aktif menjalin kerjasama dengan mengadakan 14 pertemuan bilateral dan berkoalisi dengan 10 organisasi internasional. Aliansi strategis terbentuk dengan Brasil dan Republik Demokratik Kongo, tiga negara pemilik hutan tropis terbesar dunia yang menguasai sekitar 52% hutan tropis global. Dukungan terhadap inisiatif Tropical Forest Forever Facility juga ditegaskan, dengan komitmen dukungan dari Presiden Prabowo Subianto sebesar USD1 miliar atau sekitar Rp16,7 triliun.

Related Post
Indonesia tidak hanya fokus pada isu hutan. Pemerintah juga menegaskan posisinya sebagai pelopor dalam implementasi Pasal 6.2 Paris Agreement. Hanif menyebut Indonesia sebagai satu-satunya negara yang telah mengoperasionalkan ketentuan tersebut melalui kerjasama dengan Norwegia. Langkah ini menunjukkan keseriusan Indonesia dalam berkontribusi pada upaya global mengatasi perubahan iklim.










Tinggalkan komentar