Politica News – Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) baru-baru ini melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan: minyak sawit, bukan sekadar komoditas, melainkan solusi atas krisis global yang tengah membayangi dunia. Klaim berani ini dilontarkan Sekretaris Jenderal CPOPC periode 2022-2025, Rizal Affandi Lukman, di tengah kekhawatiran akan deforestasi, krisis energi, dan rawan pangan.
Rizal menegaskan efisiensi dan keberlanjutan minyak sawit sebagai senjata ampuh melawan krisis tersebut. Ia menunjuk pada data penurunan kehilangan hutan primer di Indonesia dan Malaysia selama lima tahun terakhir sebagai bukti nyata komitmen negara penghasil sawit terhadap praktik berkelanjutan. "Minyak sawit hanya menggunakan 8,2% dari total lahan tanaman minyak dunia, tetapi menghasilkan 41,8% dari minyak nabati global. Ini menjadikannya sumber yang paling efisien dan layak secara lingkungan," tegas Rizal.

Angka-angka tersebut memang mengesankan. Lebih dari 50% ekspor minyak dan lemak global disumbang oleh sawit, dikonsumsi di lebih dari 160 negara. Produksi global tahun 2023 mencapai lebih dari 81 juta ton, dengan Indonesia sebagai pemain dominan sebagai produsen, eksportir, dan konsumen terbesar.

Related Post
Pernyataan CPOPC ini tentu akan memicu perdebatan. Di satu sisi, data yang disajikan menunjukkan potensi besar sawit dalam memenuhi kebutuhan global. Di sisi lain, isu deforestasi dan dampak lingkungan tetap menjadi sorotan tajam yang tak bisa diabaikan begitu saja. Pertanyaannya kini, mampukah industri sawit membuktikan klaimnya dan bertransformasi menjadi solusi yang benar-benar berkelanjutan, atau hanya sekadar janji manis di tengah badai krisis global? Perjalanan panjang masih menanti untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Tinggalkan komentar