Politica News – Banyak ahli hukum merindukan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Namun, realita di lapangan seringkali jauh panggang dari api. Pertanyaan mendasar pun muncul: masihkah hukum relevan? Apakah pengajaran hukum di perguruan tinggi masih bermakna jika realitanya jauh berbeda? Bukankah ini berarti para ahli hukum telah mengkhianati kepercayaan publik akan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bergema, mengusik para ahli hukum yang menyadari kesenjangan antara cita dan realita hukum.
Bagaimana seharusnya peran ahli hukum dalam merespon situasi ini? Satu hal yang pasti: hukum tak akan berjalan tanpa kekuasaan. Namun, kekuasaan tanpa hukum berpotensi menimbulkan anarki. Teori hukum murni Kelsen pun tampak tak relevan di Indonesia, karena hukum selalu berkelindan dengan kekuasaan. Tantangannya adalah bagaimana hukum membatasi kekuasaan? Apalagi, undang-undang sendiri tercipta di bawah pengaruh kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Undang-undang terbaik sekalipun tak akan efektif jika aparat penegak hukumnya buruk. Sebaliknya, aparat yang baik dapat mempersempit jurang antara cita dan realita hukum. Namun, realita politik Indonesia menunjukkan bahwa undang-undang, sebaik apapun, tetap dipengaruhi kekuasaan. Contohnya, UU Subversi yang baru dicabut setelah rezim berganti. Bagaimana menanamkan kesadaran hukum pada pemegang kekuasaan? Sanksi terberat pun tak cukup jika pemegang kekuasaan sendiri yang menunjuk atau memilih aparat penegak hukum.

Related Post
Di Indonesia, kita dihadapkan pada pilihan sulit: hukum yang baik, aparat hukum yang berintegritas, atau kekuasaan yang abai dan mengedepankan kepentingan diri sendiri. Ketiga elemen ini saling terkait dan menentukan sejauh mana cita keadilan dapat diwujudkan dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara.










Tinggalkan komentar