Kayu Banjir Aceh Tamiang: Berkah Pembangunan atau Dilema Regulasi?

Kayu Banjir Aceh Tamiang: Berkah Pembangunan atau Dilema Regulasi?

Politica News – Di tengah upaya pemulihan pasca-banjir bandang yang melanda Kabupaten Aceh Tamiang, secercah harapan muncul dari tumpukan kayu hanyutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI telah memberikan lampu hijau bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan kayu-kayu besar yang terbawa arus, namun kebijakan ini justru menyisakan dilema regulasi di tingkat lokal yang berpotatensi menghambat percepatan pembangunan kembali.

Bencana banjir yang melanda Pondok Pesantren Islam Terpadu Darul Mukhlisin di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, meninggalkan jejak pilu sekaligus material tak terduga: ratusan kubik kayu gelondongan. Kayu-kayu ini, yang awalnya menjadi penghalang dan potensi bahaya, kini berpotensi menjadi "berkah" pembangunan kembali bagi masyarakat yang terdampak, asalkan birokrasi tidak menghambat langkah.

Kayu Banjir Aceh Tamiang: Berkah Pembangunan atau Dilema Regulasi?
Gambar Istimewa : img.antaranews.com

Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga KLHK, Fahrizal Fitri, menegaskan bahwa kayu-kayu bernilai ekonomis tersebut boleh dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). "Kayu-kayu yang besar itu boleh dimanfaatkan, yang nantinya kita serahkan kepada daerah," ujarnya di Aceh Tamiang, Rabu (27/12). Ia menambahkan, kayu yang tidak memiliki nilai ekonomis, seperti ranting dan serpihan, didorong ke pinggir dan ditumpuk sebagai tanggul pengaman kompleks pesantren. Ini adalah langkah pragmatis untuk mengatasi masalah sekaligus memanfaatkan sumber daya.

COLLABMEDIANET

Operasi pembersihan yang melibatkan tim gabungan dari UPT KLHK Aceh-Sumut, TNI/Polri, Kementerian PUPR, dan BNPB, telah mencapai 90% penyelesaian dalam waktu 10 hari. Kayu-kayu log dipotong sepanjang 3-4 meter, kemudian diangkut ke tempat penumpukan (TPA) sejauh 700 meter di tepi sungai Tanjung Karang. Setelah itu, Balai Pengelolaan Hutan Lestari akan melakukan pengukuran dan penomoran sebelum diserahkan secara resmi kepada Pemda Aceh Tamiang. Proses ini menunjukkan koordinasi yang solid di lapangan, namun tantangan sesungguhnya ada pada tahap pemanfaatan.

Fahrizal Fitri menekankan bahwa pemanfaatan kayu ini bukan untuk diperdagangkan, melainkan untuk kepentingan kemanusiaan dan pemulihan infrastruktur. "Penyerahan itu dengan peruntukannya. Nanti kita minta daerah dimanfaatkan untuk bahan pembangunan hunian sementara, hunian tetap, perbaikan rumah penduduk, fasilitas sosial masjid dan sekolah-sekolah, itu kita utamakan," jelasnya. Diperkirakan, material kayu dari dalam pesantren yang bisa dimanfaatkan mencapai 500 meter kubik, sebuah volume yang signifikan untuk menopang upaya rekonstruksi.

Kebijakan ini didasari oleh Surat Edaran (SE) Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK RI Nomor: S.467/PHL/IPHH/PHL.04.01/B/12/20258 Desember 2025, tentang Pemanfaatan Kayu Hanyut untuk Pemulihan Pasca Bencana Banjir Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. SE tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pemanfaatan kayu hanyutan untuk penanganan darurat, rehabilitasi, dan bantuan material bagi masyarakat terdampak dapat dilaksanakan atas dasar asas keselamatan rakyat dan kemanusiaan. Ini adalah payung hukum yang kuat, namun interpretasi dan implementasinya di lapangan menjadi krusial.

Wakil Bupati Aceh Tamiang, Ismail, menyambut baik regulasi ini sebagai angin segar bagi masyarakat yang mendambakan pemulihan. Namun, ia juga mengungkapkan keraguan Pemkab terkait langkah selanjutnya. "Terkait kayu banjir sejauh ini belum ada ketetapan aturan kayu tersebut mau diapain. Kami tidak berani memanfaatkan kayu itu, karena regulasi belum turun," tegas Ismail. Meskipun ada ide untuk membuka pabrik pengolahan kayu di lokasi tumpukan agar bisa diolah menjadi barang tertentu, Pemkab masih menahan diri menunggu aturan jelas dari pemerintah pusat mengenai pengolahan kayu bulat tersebut. Ini menunjukkan adanya celah antara kebijakan umum dan panduan teknis yang diperlukan di lapangan.

Dengan 650 batang kayu atau sekitar 475 meter kubik yang sudah dipotong dan siap diserahkan, harapan besar terpampang di hadapan warga Aceh Tamiang. Namun, tanpa regulasi yang komprehensif dan panduan operasional yang jelas dari pusat, potensi besar ini terancam tertahan di tengah ketidakpastian birokrasi, menunda pemulihan yang sangat dinanti-nantikan oleh para korban bencana. Ini menjadi ujian bagi sinergi antara kebijakan pusat dan kebutuhan riil di daerah, sekaligus tantangan untuk memastikan bahwa asas keselamatan rakyat dan kemanusiaan benar-benar terwujud tanpa hambatan yang berarti, demikian dilaporkan Politica News.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikutikami :

Tinggalkan komentar