Politica News – Kapitalisme emosional, sebuah konsep yang digulirkan oleh filsuf Byung-Chul Han, kini semakin relevan dalam lanskap politik modern. Emosi, yang dulunya dianggap sebagai bagian dari pengalaman manusiawi, kini bertransformasi menjadi komoditas, alat produksi, dan bahkan instrumen kekuasaan.
Politica News – Han berpendapat bahwa kekuasaan tidak lagi beroperasi melalui aturan atau pengekangan fisik, melainkan melalui pengelolaan emosi seperti suasana hati, ketakutan, kemarahan, antusiasme, dan preferensi emosional warga. Sosiolog Eva Illouz sebelumnya telah memperkenalkan istilah ini untuk menjelaskan bagaimana bahasa terapi dan psikologi merasuki ruang kerja, keluarga, dan hubungan personal.

Politica News – Fenomena ini semakin nyata dalam politik. Narasi politik bergeser dari argumentasi programatik menjadi permainan sentimen. Pemilih lebih tergerak oleh rasa takut, nostalgia, identitas kelompok, atau kedekatan emosional daripada evaluasi kebijakan atau rekam jejak. Ruang politik berubah menjadi panggung afeksi, bukan deliberasi.

Related Post
Politica News – Neurosains perilaku menjelaskan pergeseran ini. Riset Daniel Kahneman menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan manusia dibuat oleh sistem saraf emosional (sistem-1) yang bekerja lebih cepat daripada mekanisme berpikir reflektif (sistem-2). Hal ini membuka peluang bagi manipulasi emosi dalam arena politik, di mana kandidat dan partai politik berlomba-lomba memenangkan hati pemilih melalui pesan-pesan yang menyentuh emosi daripada logika.










Tinggalkan komentar