Politica News – Komisi Yudisial (KY) melontarkan usulan tegas yang mengguncang dunia peradilan: tak ada lagi toleransi bagi hakim yang terbukti "berdagang perkara." Anggota KY, Setyawan Hartono, secara eksplisit menyatakan bahwa sanksi pemecatan adalah satu-satunya jalan bagi mereka yang mengkhianati sumpah jabatan demi keuntungan pribadi. Ini bukan sekadar gertakan, melainkan cerminan keseriusan lembaga pengawas hakim tersebut dalam menjaga marwah keadilan.
"Meskipun ada beragam sanksi, jika disepakati, tindakan hakim yang bersifat transaksional itu sudah pasti sanksinya, rekomendasi oleh KY adalah pemecatan, pemberhentian tidak dengan hormat," tegas Setyawan di Gedung KY, Jakarta, Selasa. Pernyataan ini menggarisbawahi komitmen tanpa kompromi. Ia bahkan menyelaraskan pandangannya dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto, yang secara lantang menyerukan pemberantasan hakim pencari keuntungan ekonomi dari penanganan kasus. Bagi KY, praktik tercela ini harus diakhiri secara tuntas.

Setyawan, yang memiliki latar belakang di Badan Pengawasan (Bawas) MA, menegaskan bahwa hukuman lain, termasuk sanksi non-palu, terbukti tidak efektif. "Karena ini menyangkut moral, jadi susah diperbaiki," ujarnya, menyoroti akar masalah yang mendalam. Pemecatan dianggap sebagai sanksi paling tepat untuk mengikis praktik tercela yang merusak citra peradilan dan mengikis kepercayaan publik. Harapannya, dengan adanya prosedur operasional standar (SOP) yang jelas ini, setiap hakim akan "berpikir seribu kali" sebelum tergoda melakukan pelanggaran transaksional.

Related Post
Jika usulan ini disetujui dalam rapat pleno antarkomisioner, ketentuan tersebut akan dituangkan dalam pedoman atau SOP KY, menjadi "alarm" pengingat bagi seluruh korps hakim. Setyawan meyakini, langkah ini akan menjadi penekan yang kuat. "Sehingga betul-betul hakim nanti akan berpikir seribu kali ketika akan melakukan pelanggaran karena sudah pasti tidak ada alternatif, kalau Pak Ketua MA menggunakan istilah ‘tamat riwayat’, itu kami sangat setuju," imbuh Setyawan, menggambarkan betapa finalnya konsekuensi yang akan dihadapi.
Lebih jauh, Setyawan mengungkapkan visi baru KY yang berorientasi preventif. Selama ini, prestasi KY kerap diukur dari seberapa banyak pengaduan yang ditindaklanjuti dan berapa banyak hakim yang direkomendasikan untuk disanksi—sebuah pendekatan yang cenderung "repressive oriented." Namun, pengalaman menunjukkan bahwa banyaknya sanksi tidak serta-merta menghentikan pelanggaran, justru berpotensi menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
"Oleh karena itu, dalam kapasitas selaku ketua bidang, saya punya gagasan bahwa ke depan, KY lebih preventive oriented dalam konteks pengawasan hakim. Artinya, kita mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh hakim," jelasnya. Ini adalah pergeseran paradigma fundamental, dari sekadar menindak menjadi proaktif mencegah. Dengan strategi preventif ini, indikator keberhasilan KY akan bergeser. Bukan lagi pada jumlah hakim yang dihukum, melainkan pada menurunnya secara signifikan laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ini adalah langkah maju menuju peradilan yang bersih, berintegritas, dan benar-benar menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat.










Tinggalkan komentar