Politica News – Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada dilema politik yang pelik: meneruskan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Keputusan ini, yang menetapkan IKN sebagai ibu kota politik pada 2028, menurut pengamat politik Universitas Nasional (UNAS), Selamat Ginting, merupakan simalakama. Di satu sisi, melanjutkan proyek IKN menunjukkan komitmen terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya. Namun, di sisi lain, jika proyek ini terbukti tidak efisien atau malah membebani keuangan negara, maka pemerintahan Prabowo akan menanggung beban politik yang sangat berat.
"Keputusan menetapkan IKN sebagai ibu kota politik pada 2028, berdekatan dengan Pemilu 2029, sangat signifikan," ungkap Selamat Ginting dalam wawancara di Jakarta, Minggu (21/9/2025). "Ini bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, tetapi juga strategi politik Prabowo dalam mengatur panggung kekuasaan menjelang akhir periode pertamanya."

Ginting menyoroti risiko politik yang mengintai Prabowo. Keberhasilan IKN akan menjadi modal politik yang berharga, namun kegagalannya bisa menjadi bumerang yang mengancam popularitas dan peluangnya di masa depan. Ia menambahkan bahwa warisan Jokowi berupa proyek IKN ini menjadi tantangan besar bagi Prabowo, mengingat proyek tersebut memiliki potensi menjadi aset maupun liabilitas politik.

Related Post
Dengan kata lain, Prabowo harus berjalan di atas tali yang sangat tipis. Ia harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan program nasional dengan pertimbangan efisiensi anggaran negara dan dampak politik jangka pendek maupun panjang. Keputusan ini, menurut Ginting, akan menjadi tolok ukur kepemimpinan Prabowo dalam menghadapi warisan pemerintahan sebelumnya.










Tinggalkan komentar