Politica News – Generasi muda kini berhadapan dengan lautan informasi digital. Di satu sisi, media sosial menawarkan akses luas, namun di sisi lain, ancaman misinformasi dan disinformasi mengintai. Pdt. Risang Anggoro Elliarso, akademisi STAK Marturia Yogyakarta, menyoroti pentingnya literasi digital sebagai benteng pertahanan bagi resiliensi hubungan antarumat beragama di era digital.
Dalam diskusi di Yogyakarta (9/7/2025), Pdt. Risang mengungkapkan keprihatinannya terhadap "echo chamber" yang diciptakan algoritma media sosial seperti Facebook, YouTube, TikTok, dan Instagram. Fenomena ini membuat pengguna hanya terpapar informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka, menciptakan persepsi bahwa pandangan mereka adalah satu-satunya kebenaran. "Padahal, realitas jauh lebih kompleks," tegasnya.

Untuk mengatasi dampak negatif ini, Pdt. Risang menawarkan solusi tiga pilar. Pertama, ia menekankan perlunya "digital wisdom" atau kearifan digital. Literasi digital dasar saja tidak cukup; masyarakat perlu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan bijak dalam memanfaatkan teknologi digital. Kedua, penggunaan "critical thinking" menjadi krusial untuk menyaring informasi. Masyarakat harus mampu memilah informasi, mengidentifikasi hoaks, dan membangun ketahanan terhadap propaganda digital. "Kita harus naik level dari sekadar menghafal informasi ke mempertanyakan validitasnya," ujarnya.

Related Post
Ketiga, Pdt. Risang mengajak untuk mengembangkan "metacognition," yaitu kesadaran diri terhadap proses berpikir dan emosi saat berinteraksi dengan informasi digital. Masyarakat perlu mengenali emosi mereka saat menghadapi suatu informasi dan mengatur respons mereka dengan bijak. Hal ini, menurutnya, merupakan bagian penting dari kearifan digital dan berpikir kritis. Dengan tiga pilar ini, Pdt. Risang berharap generasi muda dapat menjadi warga digital yang cerdas dan bijak, mampu membangun resiliensi hubungan antarumat beragama di tengah derasnya arus informasi digital.










Tinggalkan komentar