Politica News – Bicara tentang hunian, seringkali kita hanya terpaku pada fungsi dasarnya sebagai pelindung dari cuaca. Padahal, rumah adalah lebih dari sekadar atap; ia adalah ruang tumbuh, tempat keluarga membangun cerita, dan fondasi bagi masa depan bangsa. Ironisnya, di tengah urbanisasi yang pesat dan harga lahan yang melambung, banyak keluarga di Indonesia terpaksa tinggal di rumah susun berukuran mini, seringkali hanya dengan satu atau dua kamar tidur.
Sekilas, hal ini mungkin dianggap sebagai solusi praktis: yang penting ada tempat berlindung. Namun, jika kita jujur, kondisi ini menyimpan masalah besar yang sering diabaikan. Di era modern ini, ketika isu kesehatan mental, keseimbangan hidup-kerja, dan kualitas pendidikan anak semakin mengemuka, ukuran rumah ternyata memegang peranan penting.

Bayangkan sebuah keluarga muda di Jakarta atau kota besar lainnya. Orang tua bekerja dari rumah karena kebijakan remote working masih berlaku. Anak-anak belajar daring atau mengerjakan tugas sekolah dengan laptop. Semua aktivitas ini terjadi dalam ruang sempit dua kamar. Awalnya mungkin terasa bisa diatur, tetapi lama-kelamaan, stres menumpuk. Orang tua kehilangan ruang pribadi untuk beristirahat atau berdiskusi. Anak remaja kehilangan privasi untuk menemukan jati diri. Suara dari ruang tamu dengan mudah mengganggu konsentrasi belajar. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat pulang paling nyaman, justru berubah menjadi sumber tekanan.

Related Post
Fenomena ini sangat terkait dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental. Kita sering mendengar kampanye tentang pentingnya menjaga mental health, tetapi jarang membahas bagaimana faktor ruang hunian dapat memperburuk atau memperbaiki kondisi tersebut. Padahal, jika keluarga hidup dalam kondisi "terjepit", potensi stres, konflik, hingga kelelahan emosional akan semakin tinggi.
Pembangunan rumah susun seharusnya mempertimbangkan dimensi psikologis penghuni, bukan hanya efisiensi lahan. Mendesain unit dengan minimal tiga kamar tidur bukanlah kemewahan, melainkan strategi untuk menciptakan ruang aman bagi kesehatan mental keluarga. Hunian harus dilihat sebagai instrumen preventif terhadap masalah stres dan konflik rumah tangga.
Jika kita mengingat masa kecil, kita mungkin masih ingat betapa berharganya memiliki ruang pribadi: kamar untuk belajar, menempel poster idola, atau sekadar tempat curhat dengan diri sendiri. Itu semua adalah bagian dari proses tumbuh. Sayangnya, bagi banyak anak di rumah susun sempit, kesempatan itu hilang. Mereka harus berbagi ruang dengan orang tua atau saudara kandung. Tidak ada sudut tenang untuk membaca buku, menggambar, atau mengerjakan PR.
Padahal, di era digital ini, anak-anak menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Mereka harus bersaing di dunia yang dipenuhi kecerdasan buatan, teknologi mutakhir, dan tuntutan global. Jika sejak kecil mereka sudah kesulitan menemukan ruang untuk belajar dengan fokus, bagaimana mungkin mereka bisa tumbuh menjadi generasi yang siap menghadapi dunia?
Pemerintah dan pengembang perlu memasukkan kebutuhan ruang anak dalam standar rumah susun. Tidak cukup hanya menghitung "jumlah kepala keluarga per unit", tetapi harus ada perhitungan tentang fungsi ruang bagi tumbuh kembang anak. Minimal tiga kamar tidur berarti memberikan anak kesempatan untuk memiliki ruang belajar dan ruang personal. Dengan cara itu, kita sedang menyiapkan generasi yang lebih siap menghadapi persaingan global. Isu rumah sempit ini juga memiliki efek domino ke ranah yang lebih luas: perekonomian bangsa. Demikian analisa Hendrianto, Lead Architect, kepada Politica News –
Tinggalkan komentar