Singkong The Magic Plant

Sahabat saya Abo Fridiyanto seorang sociopreneur yg bercerita kpd saya ttg pengalamannya sebagai pelanggan dan member sebuah asosiasi pebisnis starch tapioka. Suatu pagi di tepi pantai yg hangat dibawah hembusan angin yg meluruhkan daun daun Cemara dia bercerita kpd saya ttg pengalamannya ttg Singkong the Magic Plant.

Ceritanya dia menghadiri pertemuan rutin ttg starch tapioka di Thailand dan dia melihat ada tanaman Singkong menghasilkan 2 kg umbi per batang, ada yg 7 kg umbi per batang, ada yg 15 kg umbi per batang… bahkan ada sebatang tanaman Singkong menghasilkan 38 kg umbi per batang.. bahkan ada yg melebihi dr bobot itu… semua itu dipanen pada usia panen yaitu 10 hingga 12 bulan.

Pak Nahum..! tetaknya tajam kepadaku… anda sebagai petani bukan..? Pernahkah anda melihat sebuah panen komoditi pangan dlm 1 tanaman memiliki disparitas atau rentang perbedaan panen yg sangat lebar spt halnya singkong dalam usia panen yg relatif sama ???
Belum sempat aku jawab dia meneruskan pertanyaannya…
Pernahkah pak Nahum melihat panen padi bisa 25 kali lipat dr sebuah panen padi ? Pernahkah pak Nahum menyaksikan ukuran sebuah Jagung 25 hingga 30 kali lipat ukuran rata rata ?

Selain singkong, mustahil ada tanaman yg bisa menghasilkan volume panen dgn rentang disparitas yg sangat lebar spt itu. Itulah sebabnya Vietnam dan Thailand memfokuskan kebijakan pertanian mereka kepada Singkong.

Di Thailand dan Vietnam pertanian singkong berhadapan dgn bahaya penyakit Jamur dan penyakit lainnya yg bisa menghancurkan harapan petani… namun petani tetap panen dan tetap dlm angka ton dlm kegagalan panen tsb.

Berbicara Kedaulatan Pangan… akan salah kaprah kalo fokusnya di padi atau jagung atau kedele sekalipun.

Bayangkan Indonesia tak pernah terdengar ada penyakit tanaman Singkong seperti halnya di Vietnam dan Thailand yg menghabiskan anggaran departemen pertanian negara itu.. Di Indonesia penyakit tanaman Singkong paling2 cuma kutu lutu putih yg tak lama hilang dgn sendirinya… hebat bukan..

Singkong tak perlu perawatan spt halnya padi dan jagung… bahkan ketika kemarau gila sekalipun singkong tetap bisa hidup dan bilamana hujan tiba … Singkong bisa pulih…! Bandingkan dgn padi atau jagung ketika dia menghadapu situasi kering semacam itu.

Indonesia banyak lahan kering yg bisa dimanfaatkan tanam Singkong, sekecil kecilnya panen singkong dlm 1 hektar… angkanya jauh lebih besar dibandingkan padi atau jagung…

Kembali kepada Kedaulatan Pangan… salah kaprah kalo kita fokus padi dan jagung yg mahal biaya tanamnya, ancaman gagal panen total krn kekeringan, volume hasil panen yg kecil dan memprihatinkan…
Lahan kering sebaiknya digerakkan utk menanam singkong… Lahan basah digerakkan utk menanam Sagu.. sagu cuma tanam sekali dan akan beranak terus menerus .. ketika sdh tiba dipanen, Sagu juga hebat dlm produktifitas panen dan.biaya murah.

Singkong dan Sagu adalah makanan sehat, tak perlu rekayasa genetika.

Utk mjd lumbung pangan sehat dunia Indonesia harus menebar pabrik pabrik pengolahan Singkong dan Sagu agar hati dan pikiran petani mjd tenteram karna sdh tersedia off taker-nya..

Dimana perhatian Litbang Deptan NKRI, Apa yg mereka teliti selama ini ? Kapan mereka mencetak prestasi Kedaulatan Pangan Sehat buat rakyat NKRI..?

Apa sawah padi harus dikonversi menjadi ladang singkong dan sagu ? Jawabannya Tidak… tidak perlu… biarkan petani menanam padi namun ladang ladang sebaiknya ditanam singkong.. pinggir selokan pengairan atau parit ditanami Sagu..

Lama lama petani akan membanding bandingkan antara Singkong, Sagu VS Padi Jagung atau Kedele.

Ketika Deptan NKRI serius thd teknologi Singkong di lahan kering beserta Sagu dilahan basah.. yg tak perlu pupuk kimia anorganik yg bikin senewen petani… maka NKRI ini akan melimpah dgn karbohidrat sehat akibat lompatan lompatan volume panen yg diciptakan Singkong namun tak mampu diciptakan Padi atau Jagung…

Kawanku Abo Fridiyanto memang hebat…. Pemerintah harus mendengarkan suara hati dia ttg cinta matinya kepada negeri ini.

BSD Tangerang, 21 Maret 2021

Nahum

Tinggalkan Balasan