Sidarto Danusubroto: “Pancasila Butuh Keteladanan”

Anggota Wantimpres RI Sidarto Danusubroto

Jakarta–Politicanews: Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto menyatakan bahwa Pancasila bukan saja membutuhkan kedisiplinan untuk menjalankannya tapi juga keteladanan.

Mantan Ketua MPR RI 2013-2014 ini menyampaikan pernyataannya saat diwawacara Politicanews.id di kediamannya di kawasan Kemang Jakarta Selatan, Kamis (22/4).

Menurut Sidarto, ketika orang berbicara mengenai ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ maka yang dibutuhkan adalah para pemimpin pusat maupun daerah menerapkan perilaku perilaku ketuhanan.

“Bukan sekadar (ketuhanan) ritual, tapi (juga) perilakunya. Perilaku disiplin, kerja keras, jujur, dan toleran,” kata Sidarto.

Dia mencontohkan misalnya, ‘Persatuan Indonesia’. Tanpa toleransi itu tidak mungkin bisa terjadi. Persatuan Indonesia butuh teladan dari pimpinan baik pusat maupun daerah.

“Tanpa toleransi bagaimana merukunkan keberagaman bangsa Indonesia ini. tidak bisa,” tandasnya.

Lalu, soal “Keadilan Sosial” itu juga, menurutnya, butuh keteladanan. Yaitu bagaimana para pemimpin bisa menjadi contoh hidup berperilaku berkeadilan.

Jadi, roh Pancasila di mata mantan ajudan terakhir Bung Karno ini, adalah ‘leadership by example’.

“Makanya, terus terang kenapa saya dulu menjadi promoter dari Gubernur Jokowi, karena dia saya nilai sosok yang memberikan keteladanan. Dia jujur, kerja keras, sederhana, dan good listener. Makanya sampai sekarang saya masih mendampingi. Dia salah satu pemimpin yang memberikan keteladanan,” akunya.

Ajudan Terakhir Bung Karno

Sidarto Danusubroto merupakan ajudan terakhir dari Presiden RI pertama, Soekarno. Waktu itu, tepatnya tahun 1967-1968, Sidarto menjadi ajudan Bung Karno bersama Tjokropranolo (mantan gubernur DKI).

Sidarto mendampingi Bung Karno selama satu tahun tiga bulan. Di Istana selama tiga bulan, lalu di tahanan kota enam bulan, dan tahanan rumah enam bulan.

“Walaupun keadaan waktu itu penuh keprihatinan tapi bagi saya itu (mendampingi Bung Karno) suatu kehormatan. Kehormatan mendampingi bapak bangsa di akhir pemerintahannya.”

Waktu itu, Sidarto baru pulang dari Amerika untuk mengikuti sekolah di Police Academy Washington D.C. USA (1964), lalu Special Army Warfare School, FT Bragg, USA (1964), dan Instructor School, US Naval Training School Norfolk, USA (1964/1965).

“Waktu itu, ada keinginan mengganti ajudan-ajudan Pak Karno, yang sudah ditahan semua, dengan orang yang American educated atau Barat. Saya lulusan FT Bragg yang dikenal sebagai sekolah anti komunis. Walaupun, setelah itu saya kenyang dituduh komunis. Enggak apa-apa,” ujarnya.

Wawancara Khusus Anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto dengan Jurnalis Politicanews, Sandy R Kuahaty dan Angrondewi Intan Windarti di kediamannya di Jakarta, Kamis (22/4)

Menjadi ajudan Bung Karno, Sidarto belajar banyak soal keteladanan seorang pemimpin. Misalnya soal harta kekayaan. Walaupun bagi dia, Bung Karno terlalu idealis.

Sidarto menuturkan, Bung Karno waktu itu melarang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang kemudian diobral pasca pemerintahannya.

“Dia (Bung Karno) bilang sama saya. Darto, hutan alami ini yang punya cuma kita yang besar selain Brazil dan Kongo. Mereka ini adalah paru-paru dunia. Sekarang, ternyata paru-paru dunia itu ada harganya. Ucapan Bung Karno betul,” kisahnya.

Kemudian, kata Sidarto, modal asing tidak tidak diperbolehkan masuk. Artinya, waktu itu kekayaan sumber daya alam kita masih utuh.

Dengan demikian, Sidarto ingin mengatakan bahwa Bung Karno waktu itu benar-benar tidak punya uang. Utang Bung Karno 2,5 miliar dolar waktu itu dia gunakan membeli alutsista untuk merebut Irian.

“Jadi, kalo ada isu harta kekayaan Bung Karno ada di Swiss, aduh…, wong saya lihat sendiri selama dengan Bung Karno dia enggak punya uang sama sekali,” kisah Sidarto. (it)

Tinggalkan Balasan