Foto: Reuters
Tel Aviv–Politicanews: Di antara pemicu konflik saat ini antara Israel dan Palestina adalah rencana penggusuran terhadap 13 keluarga Palestina dari komplek Sheikh Jarrah yang terletak di wilayah sengketa di Yerusalem timur.
Bagaimana sebenarnya yang terjadi di tempat itu, dan kenapa sengketa tersebut kemudian mengobarkan kembali api ketegangan di wilayah Gaza dan Israel? Berikut kronologisnya sebagaimana dikutip dari cbsnews.
Pada tahun 1940-an, kendali Inggris atas Palestina berakhir, dan kepemilikan serta kendali atas tanah di sana dipisahkan oleh komunitas internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tetapi sejak saat itu, tidak ada kesepakatan tentang perbatasan antara kedua negara Yahudi dan Arab yang terpisah.
Sehingga, pada tahun 1948, perselisihan pun mengakibatkan perang, di mana Israel mendeklarasikan kemerdekaan dan menegaskan kendali atas lebih banyak wilayah daripada yang semula diusulkan oleh PBB.
Banyak warga Palestina yang kemudian terlantar selama konflik. Mereka menjadi pengungsi. Pada akhir perang, Yordania memiliki kendali atas beberapa bagian Yerusalem, termasuk lingkungan Sheikh Jarrah, yang sebelumnya menjadi rumah bagi komunitas Yahudi.
Kenapa kekerasan kembali pecah di Israel dan Gaza?
Pada tahun 1956, keluarga pengungsi Palestina pindah ke beberapa rumah di komplek Sheikh Jarrah yang dibangun atas dukungan pemerintah Yordania dan PBB.
Namun perang perbatasan pecah lagi pada tahun 1967 antara Israel dan beberapa tetangga Arabnya. Pada akhir perang yang dikenal dengan “Perang Enam Hari” itu, Israel berhasil menduduki Yerusalem timur, termasuk komplek Sheikh Jarrah, dan pada tahun 1980, Israel mencaplok wilayah tersebut. Namun, sebagian besar negara masih belum mengakui aneksasi Israel atas Yerusalem timur tersebut.
Kota Yerusalem penting bagi orang Israel maupun Palestina, yang menginginkan, setidaknya sebagian masyarakatnya, menjadi ibu kota negara masa depan mereka.
Pada tahun 1972, atau hampir dua puluh tahun setelah orang-orang Palestina menetap di daerah Sheikh Jarrah, para pemukim Yahudi mulai mengajukan gugatan hukum atas klaim Palestina terhadap tanah tersebut. Maka dimulailah “pertempuran” jalur hukum yang masih berlanjut hingga hari ini.
Para pemukim Yahudi mengatakan, mereka memiliki hak hukum atas tanah berdasarkan hukum Israel yang mengizinkan orang Yahudi untuk memulihkan properti yang ditinggalkan selama perang pada tahun 1948.
Sementara, orang Palestina dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk dapat mengklaim kembali tanah yang mereka tinggalkan atau dipaksa meninggalkan selama perang berlangsung.
Sebanyak 13 keluarga Palestina di Sheikh Jarrah telah melakukan perlawanan hukum di pengadilan Israel atas upaya pemukim Yahudi untuk mengusir mereka sejak tahun 2008.
Namun, protes meletus beberapa minggu lalu setelah keputusan pengadilan yang memenangkan para pemukim Yahudi. Keputusan tersebut membuka jalan bagi beberapa keluarga Palestina untuk diusir dari Sheikh Jarrah. Ketegangan pun dimulai.
Sehingga pengusiran itu kemudian ditunda oleh Mahkamah Agung Israel, yang mengatakan akan menunggu memberikan putusannya atas banding dari putusan sebelumnya. Hal ini dilakukan dalam upaya meredakan ketegangan yang memuncak di Kota Suci tersebut.
Tetapi sayangnya, saat bulan suci Ramadhan tiba, kerusuhan justru terjadi di tempat lain, yaitu di masjid al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem. Hal inilah yang kemudian mendorong kedua belah pihak, Palestina dan Israel, kembali terjerumus ke dalam konflik bersenjata hingga hari ini.
Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyebut bahwa pemindahan paksa terhadap keluarga Palestina merupakan kejahatan perang. Namun, pejabat Israel menyebutnya hanya sebagai “sengketa real-estate antara pihak swasta” belaka.
Menurut perkiraan PBB, sejak Israel didirikan pada tahun 1948, perang dan pembangunan pemukiman Israel telah menyebabkan sekitar 5 juta warga Palestina mengungsi.
Menjadi pertanyaan yang tak mudah dijawab, siapa sesungguhnya yang berhak atas sebidang tanah yang dijanjikan itu? (it)