Pemerintah baru saja membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seberapa besar prospek pengembalian utang BLBI tersebut dan seberapa besar peluang Satgas bisa menagih utang BLBI yang sudah terpaut waktu 23 tahun itu?
Politicanews mewawancarai pelaku sejarah BLBI di DPR 23 tahun lalu, Benny Pasaribu. Berikut petikan wawancaranya:
- Pemerintah membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bagaimana pandangan Bapak?
Secara umum terkait pengucuran, penyaluran dan pengembalian dana BLBI banyak penyimpangan. Ini menjadi sejarah kelam bangsa Indonesia, bahkan mungkin sejarah kelam di Asia Tenggara. Ada skandal besar kejahatan perbankan di dalamnya, ada unsur pidana perbankan yang melibatkan banyak orang.
Awalnya penyaluran BLBI didahului krisis moneter 1997–1998, krisis mata uang Asia, mulai dari won Korea, peso Filipina, baht Thailand, ringgit Malaysia hingga akhirnya sampai ke rupiah, semua mata uang Asia terdepresiasi terhadap dolar AS. Rupiah jatuh dari Rp2.300 terkoreksi hingga Rp2.500, bahkan sampai ke level Rp17.000 per dolar AS. Indonesia mengalami krisis paling dalam dan paling lama.
Pada November 1998 diputuskan untuk menutup 16 Bank Dalam Likuidasi (BDL). Saat itu kami bilang salah, tidak boleh menutup bank, karena uang yang ada di bank itu adalah titipan kepercayaan masyarakat, jadi masalah kepercayaan.
Kalau banknya kemudian ditutup, maka sama saja mencabut kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank. Ini terbukti bank-bank lain yang sehat pun ikut di-rush. Banyak bank sehat yang kemudian nasabahnya menarik dana dari bank itu. Jadi yang awalnya krisis nilai tukar, krisis moneter, setelah penutupan bank bergeser menjadi krisis perbankan.
- Apa yang sebenarnya terjadi sehingga perbankan jadi di-rush?
Kenapa terjadi krisis perbankan, kan itu pertanyaannya. Karena BLBI yang seharusnya dinisbahkan untuk mengembalikan uang nasabah, ternyata para pemilik, manajemen bank, karyawan dan pihak orang dalam yang punya tabungan, deposito dan giro, diduga lebih dulu mengambil dana BLBI.
Unsur orang dalam inikan mendapat informasi paling awal, sehingga dia paling awal me-rush banknya sendiri. Dan ini adalah skandal paling besar, mayoritas uang dana pihak ketiga disedot oleh orang-orang dalam bank.
Kami di DPR waktu itu sudah diskusi dengan Jaksa Agung Marzuki Darusman, membicarakan dimana letak pidana dari dana BLBI ini. Karena dana BLBI dikucurkan terhadap perbankan yang jelas-jelas melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (Legal Lending Limit–LLL) dan pelanggaran perbankan lainnya. Sehingga masing-masing bank tak bisa mengembalikan BLBI.
Dalam sidang kabinet Presiden Soeharto sudah menginstruksikan bahwa dana BLBI ini khusus diperuntukkan bagi nasabah penabung. Ternyata dana BLBI itu diberikan kepada bank yang sejak lama rusak, harusnya dikucurkan kepada bank yang sehat tapi di-rush oleh nasabahnya, tapi dikucurkan kepada bank yang sudah lama sakit.
- Siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus BLBI ini?
Tentu saja Bank Indonesia, namanya saja Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, dimana tanggung jawab pengucuran dari BI ke bank-bank, penggunaan BLBI oleh bank-bank penerima, dan pengembaliannya, penuh manipulasi. Makanya urusan pengembalian dana BLBI ini akhirnya diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), itu adalah simbol hilangnya kepercayaan pada BI.
Oleh karena angka bank dan nilai penyaluran BLBI penuh simpang siur, maka ketika kami ditunjuk sebagai Ketua Komisi Keuangan, DPR meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi atas penyaluran dana BLBI.
Hasil auditnya, seharusnya hampir Rp220 triliun, tapi yang bisa diaudit BPK hanya 48 bank dan nilainya hanya Rp147,7 triliun. Dari jumlah tersebut, BPK menemukan ada dana BLBI senilai Rp138,4 triliun atau 95,81% salah sasaran atau salah menerima, penyalurannya tidak sesuai dari instruksi Presiden Soeharto.
Kemudian 85% dari Rp138,4 triliun tersebut, terdapat indikasi salah menggunakan. Salah penggunaan ini seperti dana BLBI yang diterima dibelikan dolar AS, kemudian digunakan untuk menyelesaikan utangnya. Padahal dana BLBI ini dinisbahkan untuk nasabah. Apakah ini tidak masuk wilayah pidana?
Dana BLBI yang nilainya mencapai Rp220 triliun itu, entah mengapa kemudian dibebankan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Celakanya lagi bunga atas BLBI tersebut juga dibebankan ke APBN, harusnya kan yang nanggung Bank Indonesia.
Sehingga kalau tidak perlu dibiayai APBN, uang APBN kan bisa digunakan untuk hal-hal yang sifatnya kerakyatan.
Sebenarnya dalam kasus penyaluran dana BLBI ini, Bank Indonesia sudah bangkrut. Sampai-sampai Pak Kwik Kian Gie mengusulkan agar Bank Indonesia dibubarkan karena sudah bangkrut dan sudah bobrok. Lalu dibentuk bank sentral baru sebagai pengganti dan dikelola oleh orang-orang yang bersih dan kredibel.
- Bagaimana dengan biaya bunga BLBI yang terus mengalir dari APBN ke bank yang kini sudah berpindah tangan?
Betul, kalau tidak salah kita membayar bunga BLBI hingga tahun 2033. Semua menjadi beban APBN. Saya mengusulkan pembayaran bunga BLBI dihentikan lewat konvensi atau kesepakatan bersama. Alasannya, bank-bank itu sebagian sudah mati, tapi yang masih hidup kini sudah pulih dan kaya. Proses penyehatan perbankan ini tidak fair seluruhnya dibebankan ke APBN, dibebankan kepada rakyat Indonesia.
Kalau mau dijumlah, dana rekapitalisasi Rp430 triliun ditambah dana BLBI Rp220 triliun, jadi sekitar Rp650 triliun, ditambah bunga 10% atau Rp65 triliun tiap tahun sampai 2033, semua menjadi beban APBN. Setidaknya dana rekapitalisasi dan BLBI dengan bunga 10% dibebankan ke APBN. Kalau dijumlah Rp1.200 triliun ditambah Rp650 triliun sekitar Rp1.850 triliun dibebankan APBN. Sampai 2033 total pokok, bunga, rekapitalisasi dan BLBI-nya mencapai Rp2.925 triliun.
Jadi rakyat menanggung beban tiga kali, biaya BLBI plus biaya rekapitalisasi dan bunga serta denda atas biaya BLBI dan bunga rekapitalisasi. Inilah sejarah kelam keuangan kita dimasa lalu. Kegagalan bisnis bank para konglomerat itu dibebankan kepada rakyat Indonesia lewat APBN.
- Lantas bagaimana konglomerat itu harus melunasi utang BLBI dan rekapitalisasi serta bunganya kepada bangsa Indonesia?
Sampah-sampah perbankan yang berhasil ditarik pemerintah, berupa properti, aset bekas dan kredit macet perbankan itu kemudian dialihkan ke BPPN. Desain awalnya BPPN itu mengumpulkan sampah-sampah perbankan itu kemudian dibenahi, setelah baik dijual kembali.
Sebenarnya kalau konsep itu berjalan baik, BPPN dapat bekerja secara optimal, tidak perlu dibebankan ke APBN. Aset itu diperbaiki lagi, manajemen diperbaiki, dijual dengan harga yang lebih baik. Negara bisa untung, seperti kasus Bank Century.
Ternyata konsep yang kami sampaikan, biaya ditanggung di luar APBN, dilakukan AS. Setelah mengalami krisis subprime mortgage, perusahaan dibantu, dibenahi, lalu dijual lebih bagus. Termasuk Korea, Malaysia, Thailand, berhasil keluar dari krisis dengan cepat. Kita mengalami krisis berkepanjangan, akarnya sudah begitu parah.
Dalam pengucuran, penggunaan dan pengembalian dana BLBI banyak perilaku menyimpang dan itu patut dipidanakan.
- Sekarang Pemerintah membentuk Satgas BLBI menagih Rp110 triliun, ini kelompok yang mana dari Rp147,7 triliun?
Pengamatan kami, bisa salah bisa benar, yang kami pelajari waktu Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden membentuk Tim Penyelesaian BLBI dengan Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro-jakti sebagai Ketua Tim, anggotanya antara lain Menko Polhukam dan Menko Kesra. Tapi nyatanya yang sering memanggil obligor-obligor adalah Menko Polhukam dan Menko Kesra. Mereka jeli, mengamati mutasi-mutasinya.
Waktu itu menjelang Pilpres 2004, dan terbukti mereka memenangkan Pilpres. Tapi negara tak mendapat apa-apa. Mereka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Begitupun kami lihat belakangan ini, Pak Jokowi polos-polos saja, tapi nanti dalam pelaksanaannya bisa dinego. Sudah selesaikan saja dengan baik, makin ke ujung, kita mau maju nih, kalau mau selesai dukung saja kita mau maju. Akhirnya kongkow-kongkow saja, maju lagi Pilpres, tapi negara tak dapat apa-apa. Jadi Pak Jokowi perlu kita dukung di satu sisi, tapi Satgas BLBI kita minta profesional dan transparan. Minggu pertama siapa saja yang sudah ditagih, berapa tagihannya, dan siapa yang masih belum bayar, semua diatur transparan. Berapa yang masuk dari tagihan itu.
- Masalahnya sudah 20 tahun lebih kasus BLBI ini, apakah masih bisa ditagih?
Kalau mau jujur sebagian besar obligor dan konglomerat penerima BLBI itu sudah semakin kaya sekarang ini. Tambahan lagi bunga BLBI dan rekapitalisasi masih mengalir dari APBN sebesar Rp65 triliun per tahun. Mestinya bisa ditagih lah.
Ini soal niat baik saja, negara ini lagi sulit, lagi pandemi Covid-19, butuh dana besar, pambangunan sudah macet, rakyat banyak menganggur. Jadi pembayaran kewajiban BLBI itu harus dilakukan, mengapa mereka hold pembayarannya?
Justru mereka tidak berhak menah-nahan. Caranya seperti apa, mereka bayar pokok, bunga dan denda. Bisakah prosesnya transparan. Wah ini apa lagi? Jangan-jangan Presiden Jokowi kena trap permainan lagi.
Contoh BCA untuk rekapnya mencapai Rp60 triliun, tapi ketika dijual BCA hanya Rp5,5 triliun. Padahal bunganya mencapai belasan triliun. Mestinya BCA bisa dijual lebih mahal asal kita poles dulu, tapi IMF dan Bank Dunia waktu itu memaksa harus dijual sekarang. Buat apa? Di sini kami mendapat kesimpulan adanya titipan. Terpaksa kami geser-geser waktu penjualannya, tapi ada saja yang bermain sepertinya.
Satgas BLBI ini bagus sekali, kita dukung Pak Jokowi. Tapi kalau prosesnya tidak profesional dan transparan, bisa-bisa dicurigai lagi. Jangan-jangan ini untuk Pilpres lagi?
- Apa yang bisa dilakukan Satgas BLBI agar kerjanya bisa dipercaya publik?
Satgas ini bisa datang ke BPK meminta rincian sisa utang BLBI, lalu di-cross-check ke Kementerian Keuangan untuk mengetahui berapa dana yang sudah masuk. Minta pendapat publik, proses yang profesional dan transparan sehingga kerjanya dipercaya publik.
Kemudian mereka menyusun strategi dari data yang ada, dilanjutkan menyiapkan action plan untuk kecepatan kerja. Apa yang perlu dilakukan dan kapan target waktunya bisa selesai. Baru kita lihat siapa yang kooperatif dan siapa yang non kooperatif.
Lalu dalam proses pemanggilan kita cek, siapa yang datang dan siapa yang tidak datang, siapa yang tidak dipanggil. Transparan saja.
Yang mana dari Rp110 triliun itu, mana yang mau ditagih dari total Rp650 triliu? Apakah mereka yang belum memperoleh release and discharge mana yang sudah dapat surat keterangan lunas (SKL). BI dan Kementerian Keuangan pasti punya data, kecuali data itu sudah dibakar pada saat gedung BI terbakar (de)