JAKARTA–Politicanews: Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro memperkirakan potensi pendapatan pajak karbon atau carbon tax pada tahun pertama implementasi akan mencapai sekitar Rp29 triliun sampai Rp57 triliun atau 0,2% sampai 0,3% dari PDB.
Satria menyatakan potensi tersebut akan tercapai dengan asumsi tarif pajak yang dikenakan sekitar US$5 sampai US$10 per ton CO2 yang mencakup 60% emisi energi.
“Indonesia mungkin mulai menerapkan pajak karbon sebesar US$5 sampai US$10 per ton CO2 di tahun pertama dengan pendapatan pajak yang dihasilkan mencapai Rp26 triliun sampai Rp57 triliun,” katanya di Jakarta, Rabu.
Satria mengatakan secara global terdapat 61 kebijakan penetapan harga karbon yang telah dilaksanakan atau dijadwalkan di 46 yuridiksi nasional dan 32 sub-nasional dengan tarif berkisar antara 1 dolar AS sampai US$119 per ton CO2.
Ia menyebutkan biasanya pendapatan yang dihasilkan digunakan untuk mendukung program energi bersih, menurunkan pajak dan mengkompensasi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Sementara di Indonesia, penerapan pajak karbon sepertinya cenderung mengadopsi model emission-trading system atau ETS mengingat kepastian harga dan implementasi yang lebih mudah untuk mendukung defisit anggaran.
Berdasarkan studi Bank Dunia, pajak karbon domestik sebesar US$30 per ton CO akan mampu meningkatkan sumber daya lebih dari 1,5% terhadap PDB.
Satria menjelaskan rencana menerapkan pajak karbon memiliki dampak positif seperti membantu normalisasi anggaran yakni defisit kembali ke level 3% pada 2023 dan mendukung upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Di sisi lain, rencana tersebut juga memiliki beberapa dampak negatif dalam jangka pendek seperti akan terjadi kenaikan harga energi yang pada akhirnya mempengaruhi konsumsi rumah tangga.
Menurut perkiraan IMF, jika Indonesia menerapkan pajak karbon US$75 per ton CO2 maka harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar seperti batu bara 239%, gas alam 36%, listrik 63%, dan bensin 32%.
Tak hanya itu, ia mengatakan rincian struktur penerapan pajak karbon ini masih belum jelas meski pemerintah telah berencana untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik serta petrokimia.
Hal itu terjadi karena emisi CO2 per sektor justru didominasi oleh industri sebesar 37%, listrik 27%, dan sektor transportasi 27% dengan emisi CO2 mencapai 625 MtCO2 pada 2019.
Meski demikian, Satria memperkirakan akan ada penambahan daftar industri yang terkena pajak karbon pada tahun depan seperti otomotif, minyak sawit, serta makanan dan minuman.
“Meskipun ini mungkin memerlukan tinjauan komprehensif tentang emisi mereka dari Kementerian Lingkungan dan kemungkinan pengungkapan kepada Bursa Efek Indonesia,” ujarnya (de).