Politik Kuliner Bung Karno

Abdul Ghafar Karim, Kepala Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan UGM

JAKARTA–Politicanews: “Andai saja proyek ‘Mustika Rasa’ itu berhasil, niscaya Indonesia akan berhasil sebagai pendekar kuliner di kawasan Asia dan dunia. Sayangnya posisi itu kini diambil oleh Thailand,” begitu ungkap Abdul Ghafar Karim, Kepala Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan UGM.

Ghafar mengungkapkan hal tersebut saat mengisahkan kepiawaian Bung Karno dalam berpolitik kuliner. Peneliti bidang politik UGM itu menjadi pembicara dalam program “Talkshow & Musik” yang diselenggarakan Badan Kebudayaan Nasional (BKN) Pusat PDI Perjuangan, Selasa (29/6).

“Mustika Rasa” merupakan proyek prestisius Presiden RI pertama, untuk mendokumentasikan resep-resep masakan Nusantara. Buku “Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno” tersebut terbit pada tahun 1967, dan saat ini menjadi buku langka.

Melalui buku tersebut Bung Karno mengumpulkan tradisi kuliner nusantara yang bisa dibanggakan sebagai makanan khas Indonesia. Buku tersebut disusun dengan riset yang sangat serius, bukan hanya soal citarasa, tapi juga dilengkapi informasi nilai kalori kesehatan.

Gastrodiplomacy

Menurut Ghafar, buku tersebut juga sebagai bukti bahwa Bung Karno saat itu sudah melakukan “Gastrodiplomacy”.

“Gastrodiplomacy” alias diplomasi lewat kuliner hingga saat ini masih menjadi alat yang paling populer dalam diplomasi publik. Berbekal pisau, garpu dan bendera, hingga menggunakan restoran untuk mempromosikan kebudayaan, makanan dan berbagi keberagaman sebuah negara.

Mantan Menlu AS Hillary Clinton pernah menyatakan, penggunaan makanan dalam berdiplomasi adalah cara yang sudah lama digunakan dalam praktik-praktik diplomasi.

Gastrodiplomacy sendiri merupakan inisiatif awal diplomasi kuliner yang diluncurkan oleh Pemerintah Thailand pada tahun 2002, untuk mendorong lebih banyak orang di seluruh dunia memakan masakan Thailand.

Contoh lain dari gastro diplomacy adalah Korea dengan diplomasi kimchi, dan Malaysia dengan proyek Malaysian Kitchen.

Padahal, Bung Karno sudah memulainya sejak dulu. Ghafar menjelaskan, melalui proyek “Mustika Rasa” Bung Karno sejatinya punya cita-cita agar masakan asal Indonesia berdiri sama tinggi dengan hidangan Eropa. Ini bagian dari diplomasi politik.

Ghafar menceritakan bagaimana dulu Bung Karno berpolitik lewat kuliner Nusantara yang disukainya. Misalnya, dia sangat menikmati sekali saat di luar negeri disuguhkan ikan-ikan kecil semacam wader di Indonesia.

Misalnya, dalam otobiografinya, Bung Karno punya kebiasaan makan pakai tangan. Termasuk, saat kerap mengundang Duta Besar Amerika Serikat ke  Istana Bogor untuk makan nasi goreng ayam bersama.

Bung Karno sangat bangga dengan kebiasaan yang orang Indonesia miliki, salah satunya makan dengan tangan.

Seniman Kuliner

Meskipun tampak sederhana, namun sebetulnya Bung Karno adalah orang yang mencintai kuliner dengan cara seperti seniman. Dia begitu teliti soal kuliner.

Kesan Bung Karno sebagai seniman yang mencintai keindahan tampak  ketika dia makan sayur lodeh. Dia meminta secara khusus agar nasinya tidak panas, tapi justru dihangatkan dari kuah lodehnya.

“Jadi, ketika disiramkan ke nasi, rasanya pas. Sebaliknya, kalau nasinya hangat, lodehnya dingin, akan menurunkan suhu yang justru diserap sayurnya. Prinsipnya, nasinya dihangatkan oleh sayur. Ini tak terbayangkan oleh banyak orang,” kata Ghafar.

Hal lain, Bung Karno tidak begitu suka sayurnya diberi garam. Beliau ingin menggarami makanannya di setiap suapan.

Bung Karno menentukan sendiri karakter di setiap suapan. Tak asal kenyang, Bung Karno menjadikan makanan sebagai caranya untuk mengekspresikan keindahan.

Kepedulian Bung Karno terhadap kuliner Nusantara juga ditunjukkan dengan memberi penghargaan negara kepada Mbah Wiryo, juru masak Istana yang setia mengikuti perjuangan pemerintahan Indonesia.

Perempuan kelahiran Sleman, 1903, itu mengabdi sejak di Gedung Agung, Yogya hingga diboyong ke Istana Jakarta sehingga mendapat penghargaan “Satya Lencana Wira Karya”.

Oleh Bung Karno, Mbah Wiryo dianggap berjasa karena memastikan kesehatan pemimpin bangsa sebaik mungkin, termasuk saat pemerintahan berada dalam pengasingan.

Banyak cara ditunjukkan Bung Karno dalam berdiplomasi politik lewat kuliner. Setiap Bung Karno bertemu orang-orang dari berbagai daerah, dia pasti  akan mengatakan dirinya mencintai kuliner khas daerah tersebut.

“Kepada perempuan Sunda, Bung Karno bilang suka sayur lodeh, kepada perempuan Jawa Timur menyatakan suka pecel. Maka tak heran, setiap orang akan mengklaim bahwa makanan kesukaan Bung Karno adalah makanan dari daerah mereka,” kata Ghafar.

Ada cerita menarik saat Bung Karno menggunakan kuliner sebagai alat politik untuk “menyerang” negara lain. Suatu ketika, Bung Karno mengundang seorang duta besar negara lain yang baru saja tiba di Indonesia.

Bung Karno ketika itu menyuguhkan durian, sebagai simbol bahwa Indonesia tidak menyukai dubes tersebut sebagai representasi negaranya. Hal itu juga untuk menunjukkan ketidaksukaan Bung Karno pada negara asal sang diplomat.

Diplomasi politik lewat kuliner juga kerap dilakukan oleh putri Bung Karno Megawati Soekarnoputri, yang tak lain adalah Ketua Umum PDI Perjuangan.

Semua ingat, ketika Megawati mengundang Prabowo Subianto, rival partainya dalam Pilpres 2019, untuk makan nasi goreng bersama di kediamannya. Pertemuan politik berbungkus “makan nasi goreng” tersebut terbukti mampu menurunkan suhu politik antara kedua kubu politik pada saat itu. (it)

Tinggalkan Balasan