Impor beras menjadi seremoni yang rutin di saat panen padi tiba, kebijakan impor beras seperti memanjakan mafia
JAKARTA—Politicanews: Baru-baru ini berkembang kontradiksi di internal Pemerintah soal perlunya mengimpor dan tidak perlunya mengimpor beras. Di satu sisi ada keinginan mencegah impor beras karena stok beras cukup dan musim panen beras telah masuk, di sisi lain ada anggapan justru dengan impor beras merupakan strategi pemerintah melawan mafia. Mana yang benar?
Adalah Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) yang baru saja mengusulkan kepada Presiden Jokowi bahwa pemerintah tidak perlu mengimpor beras. Alasannya selain stok beras Bulog sangat banyak, kita juga baru saja memasuki masa panen. Kalau dipaksakan impor beras, maka kesulitan menempatkan beras impor, sekaligus beras impor tersebut bakal memukul beras hasil panen petani.
Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras dalam negeri diprediksi meningkat pada masa panen raya dari Maret hingga Mei.
Tapi belakangan keinginan impor beras 1 juta ton itu mencuat kembali, Buwas malah menyebutkan aktor yang mengusulkan impor beras itu adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfhi.
“Data BPS menyampaikan Maret, April, Mei itu surplus. Itu yang kami jadikan pedoman. Sehingga saat kita rakortas (rapat koordinasi terbatas), kita tidak memutuskan impor. Hanya, kebijakan Pak Menko dan Pak Mendag, kami akhirnya dikasih penugasan tiba-tiba untuk melaksanakan impor,” ungkapnya, dalam rapat bersama Badan Legislasi DPR, Selasa (16/3).
Buwas juga menyebut sebelumnya impor beras tak pernah dibahas dalam rapat kordinasi bersama Kementerian Perekonomian. Pembahasan dalam rapat, kata dia, hanya terkait stok pangan dalam negeri dan kemungkinan gangguan cuaca yang dapat menyebabkan kelangkaan.
“Sekarang sudah tertulis (perintahnya), tiba-tiba kami mendapatkan penugasan untuk impor dengan alokasi 500 ribu ton untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan 500 ribu ton untuk kepentingan komersial Bulog,” sesalnya.
Menurut Buwas, masalah penggunaan sisa beras impor 2018 yang belum terselesaikan hingga sekarang. Ia mengatakan beras impor itu tidak bisa dikonsumsi di dalam negeri karena kualitasnya yang buruk.
“Kenapa bermasalah karena memang beras itu awalnya datangnya jenisnya pera, jadi tidak bisa kami langsung salurkan karena jenis itu tidak dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sehingga saat pembagian bansos beras sejahtera (rastra) kita mixed dengan produksi dalam negeri 1:1 baru itu bisa digunakan,” tuturnya.
Namun, dalam proses perjalanannya tiba-tiba awal 2019 pemerintah memutuskan tak ada bansos rastra. “Sehingga saat itu kami punya 3,1 juta ton itu kehilangan pasarnya untuk 1 tahun sampai 2,6 juta ton. Sehingga bermasalah sampai sekarang. Sehingga beras eks impor tersisa hingga saat ini, dan kondisinya karena sudah tiga tahun mutunya turun,” jelasnya.
Belum lagi, lanjut Buwas, pengadaan beras tersebut menggunakan uang pinjaman sehingga ongkosnya lebih tinggi. Perawatan beras ini cost-nya jadi lebih tinggi, di satu sisi mutunya turun. Ini dilema Bulog. Nah, ini sudah dilempar dalam pembahasan supaya ada penanganan lebih lanjut atau dibuat tepung.
Alasan Buwas bak anjing menggonggong kafilah pun berlalu. Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi beralasan impor beras 1 juta ton merupakan strategi pemerintah agar tidak didikte oleh spekulan dan pedagang.
Selain mengintervensi jumlah stok pangan di pasar, ia menyebut tugas pemerintah lainnya adalah menciptakan stabilitas harga. Apabila stok mencukupi namun harga terus naik, ia menyebut pemerintah harus melakukan intervensi.
Menurut dia, importasi merupakan mekanisme pemerintah untuk mengintervensi pasar. Ia menyebut meski telah ditetapkan kuota impor 1 juta ton, tapi belum tentu akan dibuka keran impor sebanyak itu.
Bercermin pada keputusan 2018 silam, ia menyebut meski telah diputuskan Perum Bulog bakal mengimpor sebanyak 500 ribu ton, namun tidak ada importasi yang dilakukan. Karena, penyerapan petani yang tinggi tidak mengharuskan Bulog melakukan impor.
“Pokoknya saya ingatkan ini adalah mekanisme pemerintah, bukan berarti kami menyetujui suatu jumlah untuk impor serta merta itu diharuskan impor segitu. Tidak,” katanya pada press briefing, Senin (15/3).
Dia memastikan impor beras tidak akan menghancurkan harga beras petani seperti yang dikhawatirkan, mengingat pada panen raya akan segera berlangsung pada Maret-April mendatang.
“Saya sebagai Mendag mesti memastikan kita ini punya strategi, tidak boleh pemerintah ini didikte oleh pedagang, tidak boleh pemerintah dipojokkan oleh pedagang,” tambahnya.
Namun sayang, Luthfi enggan membeberkan strategi yang dimaksudnya itu secara rinci. Ia berdalih hal itu merupakan ‘kartu’ pegangan pemerintah dalam menghadapi mafia pangan.
“Ini strategi saya, jumlah, waktu, dan harga itu ada di kantong saya, enggak boleh saya diceritain. Kalau saya ceritain semuanya bukan strategi namanya tapi pengumuman,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri menyatakan pemerintah akan mengimpor beras sebanyak 1 juta sampai 1,5 juta ton dalam waktu dekat. Hal ini dilakukan demi menjaga pasokan dan harga beras di dalam negeri.
“Salah satu yang penting adalah penyediaan beras dengan stok 1 juta-1,5 juta ton,” ungkap Airlangga dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021, Kamis (4/3).
Airlangga menjelaskan terdapat dua skema dalam menjaga pasokan beras di dalam negeri. Pertama, impor 500 ribu ton untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan 500 ribu ton sesuai dengan kebutuhan Perum Bulog.
Kedua, penyerapan gabah oleh Perum Bulog dengan target setara beras 900 ribu ton saat panen raya pada Maret sampai Mei 2021 dan 500 ribu ton pada Juni 2021-September 2021.
Langkah ini diambil terutama setelah program bantuan sosial (bansos) beras selama kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), antisipasi dampak banjir, dan pandemi covid-19.
Rencana itu menuai kritik sejumlah pihak. Salah satunya Ekonom Senior Faisal Basri. Ia optimistis produksi beras dalam negeri akan meningkat, sehingga tak butuh impor beras.
Setidaknya, ada dua alasan produksi beras akan meningkat. Pertama, di tengah pandemi covid-19, sektor pertanian masih bisa mencatatkan pertumbuhan positif. Bahkan, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen, tertinggi dalam 5 tahun terakhir.
Kedua, BPS mengumumkan bahwa potensi produksi beras Januari-April tahun ini mencapai 14,54 juta ton, meningkat sebanyak 3,08 juta ton atau 26,84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Belum lagi, petani akan mengalami panen raya pada April-Mei mendatang. “Peningkatan produksi yang cukup tajam, khususnya pada April-Mei, sudah di depan mata,” imbuh dia.
“Masih ada waktu yang cukup pula untuk mengamankan peningkatan produksi sampai akhir tahun ini,” ujarnya.
Pertanyannya kemudian, siapa yang mengambil keuntungan dibalik impor beras ini? Apakah para pemburu rente (rent seeker) yang konon menanggung untung hingga puluhan triliun dari impor beras? Harusnya dalam politik perberasan nasional orientasinya adalah kepada para petani, jangan sampai mereka gigit jari karena harga beras tetiba anjlog disaat panen, karena dimasa panen selaiknya tidak ada impor beras agar beras petani terserap maksimal.
Bahwa perlu adanya buffer stock beras yang cukup itu sebuah keharusan dalam konteks ketahanan pangan. Namun ritme dan masa impor beras itu di atur pada bulan-bulan dimana panen beras mulai reda.
Polemik perberasan nasional sepanjang tahun selalu sama, dengan lelakon yang mungkin saja berganti, namun sesungguhnya bermotif sama, yakni menguntungkan para mafia beras. Semoga ke depan politik perberasan nasional lebih berpihak kepada petani (de)