Di Indonesia ada istilah ‘partai kader’ dan ‘partai pendiri’. Partai kader ditujukan untuk partai politik yang kaderisasi kepemimpinannya berjalan. Ketua umumnya berganti dari satu periode ke periode berikutnya.
Sebaliknya, ‘partai pendiri’ identik dengan tokoh sentral, ketua umum atau ketua dewan pembina, atau apapun istilahnya, hanya dia-dia saja atau minimal keluarganya. Biasanya, tokoh sentral ini merupakan pendiri atau penyandang dana, yang dominan pada sebuah partai politik.
Sebut saja PDIP yang identik dengan Megawati Soekarnoputri, sejak partai ini didirikan ketua umumnya belum pernah berganti. Kemudian Partai Nasdem identik dengan Surya Paloh, Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto, Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono, lalu PAN yang identik dengan Amien Rais, hingga PKB yang identik dengan Gus Dur.
Sementara, sejumlah partai seperti Partai Golkar, PPP, PKS, disebut sebagai partai kader karena jabatan ketua umumnya terbuka untuk siapapun kader partai yang memiliki kemampuan.
Memang, tidak ada undang-undang yang melarang partai politik dipimpin oleh pendiri atau keluarganya selama sesuai konstitusi atau AD/ART partai yang berlaku.
Tapi, sejarah memperlihatkan, di alam demokrasi seorang tokoh pendiri partai yang terkadang juga sudah seperti “pemilik” partai bisa saja terlempar dari partainya.
Megawati dan PDI
Sebelum mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati adalah Ketua Umum PDI, partai yang merupakan fusi atau penggabungan dari beberapa partai. Yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan dua partai keagamaan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Tapi, diakui atau tidak dalam tubuh PDI, massa terbesar berasal dari PNI, partai yang didirikan oleh Soekarno, sang proklamator sekaligus ayah Megawati.
KLB 1993 memilih Megawati, yang waktu itu Ketua DPC PDI Jakarta Selatan menjadi Ketua Umum PDI 1993-1998. Tapi, Mega kerap alami pengkhianatan dari pengurus DPP waktu itu, tentu karena adanya intervensi Orde Baru. Akhirnya, terjadi kongres pada 22-23 Juni 1996 yang memilih Soerjadi sebagai ketua umum.
Dualisme kepemimpinan di PDI disikapi pemerintah Orde Baru dengan pengakuan pada Soerjadi. Ini pula yang memicu pertumpahan darah pada 27 Juli 1996.
Megawati yang terlontar dari PDI, dan ia akhirnya membuat partai sendiri yakni PDI Perjuangan. PDIP berhasil memenangi pemilu tahun 1999. Sementara, PDI kalah total pada pemilu 1997 dan 1999.
Gus Dur dan PKB
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) identik dengan pendirinya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun siapa sangka konflik internal partai tersebut membuat sang pendiri terlempar dari partainya sendiri.
Perpecahan di tubuh PKB bermula ketika Gus Dur mencopot Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dari jabatan sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB. Cak Imin dianggap tak loyal dengan Gus Dur, sering bermanuver sendiri dan dinilai bakal menyingkirkan pamannya tersebut. Cak Imin dituding telah menggalang kekuatan untuk menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) guna menggeser Gus Dur.
Akibat pemecatan tersebut, Muhaimin menggugat Gus Dur ke PN Jakarta Selatan.
PKB pimpinan KH Abdurrahman Wahid lalu menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) di Ponpes Al-Ashriyyah, Parung, Bogor. MLB ini menghasilkan keputusan Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB dan Ali Masykur Musa sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz.
Menyusul MLB Bogor, giliran PKB kubu Muhaimin menggelar MLB di Hotel Mercure Ancol. Hasilnya, Muhaimin ditetapkan sebagai Ketua Umum PKB, sementara KH Aziz Mansyur ditunjuk sebagai Ketua Dewan Syuro.
Konflik kedua MLB itu berujung di meja hijau. Mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga ke Mahkamah Agung. Akhirnya, kepengurusan Cak Imin yang dianggap sah.
Amien Rais dan PAN
Amien Rais adalah pendiri Partai Amanat Nasional PAN, ia juga yang membesarkannya, namun akhirnya Amien didepak oleh kadernya sendiri.
Meruncingnya konflik antara PAN dengan Amien Rais, terjadi pada Kongres PAN di Kendari, Sulawesi Tenggara, Februari 2020 lalu. Amien Rais saat itu mendukung pasangan Mulfachri Harahap-Hanafi Rais melawan petahana Zulkifli Hasan dalam pemilihan ketua umum PAN baru.
Zulkifli Hasan, yang juga besan Amien Rais akhirnya menjadi pemenang di Kongres ke-5 PAN di Kendari itu. Setelah kongres, Amien Rais mengaku dirinya dikeluarkan dari PAN karena beda prinsip.
Kini, Amien Rais menggadang-gadang partai baru bernama Partai Ummah. Sejumlah pengamat menilai lahirnya partai baru ini tidak mengakhiri konflik Amien Rais dan PAN, justru akan mempertajam sebab basis massa yang diperebutkan PAN dan Partai Ummat pasti bersinggungan. Terlebih, sosok Amien Rais masih memiliki pengaruh di kalangan Muhammadiyah.
Belajar dari peristiwa politik kepartaian yang sudah-sudah, hal yang sama bukan tidak mungkin bakal dialami Partai Demokrat yang belakangan mengalami konflik internal sehingga terjadi dualisme kepemimpinan.
Pertama, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bagian dari keluarga pendiri sekaligus “pemilik” partai. Kedua, Jenderal (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum hasil KLB Deli Serdang Sumatera Utara.
Konflik internal Partai Demokrat tentu masih akan berjalan panjang. Akankah pendiri sekaligus “pemilik” partai ini bakal terlempar seperti yang sudah-sudah? Waktulah yang akan menjawabnya (it)