Moeldoko Wild Card Politik

Moeldoko nampaknya bisa menjadi wild card bagi politik di Indonesia. Hal ini nampak dari beberapa kemunculannya bersama Jokowi maupun secara personal di beberapa even yang bernuansa politik.

Bahkan Moeldoko, menjadi pembicaraan para elit jurnalis pasca- Rakernas Projo, di Magelang, Jawa Tengah. Kendati masih spekulasi, tetapi sudah banyak pengamat yang membahas soal Moeldoko, di lain sisi hadir dalam pertemuan tersebut bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Membahas soal Ganjar adalah hal biasa. Tapi bicara profil Moeldoko ini yang harus di cermati. Jika dirunut ke belakang, nama Moeldoko sempat leading di era Pilpres 2019 lalu sebagai cawapres Jokowi. Meminjam istilah para jurnalis 3 M (Mahfud, Moeldoko dan Ma’ruf Amin). Namun Jokowi beserta partai koalisi pendukung mendapuk Ma’ruf Amin. Terpilihnya Ketua Umum MUI tersebut akibat isu bernuansa agama yang menyerang figuritas Jokowi. Ma’ruf Amin dianggap sebagai peredam tuduhan tersebut

Hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) Februari lalu yang menyebut nama Moeldoko meraih elektabilitas pada posisi 2,5%. Ini artinya, nama Ketua Umum HKTI tersebut masih masuk hitungan. Menurut LSN, elektabilitas yang diperoleh Moeldoko murni karena hasil dari kemampuan, prestasi dan pengalaman dalam mengelola pemerintahan, tanpa adanya pengaruh atau naungan sosoknya di partai politik. Posisi Moeldoko juga diuntungkan lantaran dia berlatar belakang militer.

Sebagai KSP, selama menjabat Moeldoko belum pernah melakukan manuver politik yang mengganggu stabilitas kepemimpinan Jokowi. Ia selalu merespon isu-isu negatif yang ditujukan kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Selalu tetap memposisikan diri sebagai penyampai pesan pemerintah, dalam hal ini, selama dua periode jabatannya sebagai KSP, Moeldoko terlihat “pasang badan.” Menunjukkan loyalitasnya kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Eskalasi politik jelang pilpres 2024 mendatang memang diperkirakan masih bersentimen SARA. Ini berkorelasi dengan isu stabilitas negara baik itu politik, keamanan, ekonomi dan lainnya. Moeldoko masih bisa mengimbangi permainan isu-tersebut karena punya latar belakang militer tadi. Dengan mencuatnya nama Moeldoko semakin menyiratkan bahwa komposisi militer-sipil, sebaliknya sipil-militer masih mewarnai politik pilpres ke depan. Meski ujungnya akan mencuat komposisi nasionalis-religius.

Lihat saja ada nama Panglima TNI Andika Perkasa, KSAD Dudung Abdurrahman, AHY, bahkan Prabowo Subiyanto, Gatot Nurmantyo yang juga mantan Panglima TNI. Memang perpolitikan di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh militer di dalamnya, sejarah banyak mengulasnya.

Kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf saja masih bisa dikatakan dibawah pengaruh militer. Kita bisa lihat bagaimana begitu dominannya peran Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dalam memback-up kerja-kerja Jokowi. Masih banyak tokoh lain yang berpengaruh, AM Hendropriyono misalnya, mantan Ka BIN.

Instrumen militer dalam kepemimpinan nasional di Indonesia masih mampu membuka ruang kompromi selebar-lebarnya dengan parpol. Sebab kombinasi militer sipil, sipil militer masih dibutuhkan dengan kondisi Indonesia yang begitu luas wilayahnya dan beragam warganya. Ada sisi konsep, strategi, taktikal, teknikal dalam mengurusi Indonesia.

Di lain sisi, Moeldoko ini bisa diterima di semua kalangan atau faksi-faksi, di luar Partai Demokrat kubu AHY. Kendati demikian, krisis Demokrat kemarin tetap membuktikan bahwa Moeldoko punya barisan pendukung di partai berlogo Mercy tersebut. Demokrat sudah terpecah-pecah, barisan Anas Urbaningrum sudah lebih dulu. Di internal militer sendiri, Moeldoko dianggap oleh beberapa kalangan internal militer sebagai pemimpin yang peduli dengan kebutuhan prajurit, saat masih menjabat Panglima TNI.

Moeldoko mendirikan Islamic Centre di Raya Kayen, Bandar Kedungmulyo, Jombang, Jawa Timur sebagai bentuk gerakan sosial keagamaannya yang masih ia tekuni, selain mengembangkan pertanian dan pangan selaku Ketum HKTI.

Ini berarti, Moeldoko bukan tentara serampangan, justru sangat berpendidikan. Sampai sekarang citra Moeldoko masih tegas, bersih, nasionalis, sisa penguatan imej chemistry Moeldoko dengan Jokowi sudah terbangun cukup lama.

Wild card politik Moeldoko bagaikan misteri yang harus diikuti. Ini dapat saja memutar fakta semua analisis politik dalam dua tahun ke depan.

By: George Kuahaty
Direktur Lembaga Riset dan Penelitian Indonesia

Tinggalkan Balasan