Sore ini, LP3ES kembali menyelenggarakan Forum 100 Ilmuwan Sosial dan Politik yang merespons berbagai kritik terhadap kondisi partai politik, mengkaji kemungkinan terjadinya reformasi dalam level parpol dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Aisah Putri Budiarti, Fajar Nursaid, Faishal Aminuddin dan Djayadi Hanan hadir dalam diskusi sore ini dengan paparan mereka terkait dengan partai politik.
Sebelum diskusi dimulai, obituari Daniel Dhakidae dipaparkan oleh Wijayanto selaku Direktur Media and Democracy LP3ES.
Wijayanto menceritakan bahwa Daniel Dhakidae, tokoh pemikir bangsa yang meninggal pada 6 April 2021, telah menjadi sosok inspiratif dalam LP3ES dan terkhusus Majalah Prisma yang mana beliau menjadi Ketua Redaksi sejak 1976. Beliau juga terlibat dalam program-program LP3ES, seperti Sekolah Demokrasi. Diskusi hari ini berhubungan dengan pemikiran Daniel Dhakidae. Beliau menyebut kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sebagai “putar balik ke arah otoritarianisme” dan tertuang dalam buku Outlook Demokrasi. Sekaligus memotivasi terselenggaranya Sekolah Demokrasi yang terbuka untuk semua kalangan, termaksud partai politik.
Faktanya, partai politik merupakan institusi politik yang paling tidak dipercaya publik. Hal tersebut menjadi ironi tersendiri karena dengan tingkat kepercayaan yang rendah tersebut, Parpol memiliki peranan dalam membentuk kebijakan di negara dan terlibat dalam konflik kepentingan kalangan elite pemerintah. Forum ini mengkaji kemungkinan mereformasi partai politik dan solusi atas rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Karena meningkatkan kualitas Parpol menjadi hal yang krusial dalam mendorong demokrasi substansial di Indonesia.
Kemudian, Aisah Putri Budiarti pun memulai forum diskusi dengan memaparkan terkait problema dalam partai politik. Stagnasi partai politik terdapat dalam reformasi ada di amandemen dan juga Undang-undang, partai harus mengadopsi semua hal yang diatur dalam undang-undang menjadi AD ART mereka. Tetapi di poin ini, partai politik yang berjalan menurut amandemen tersebut justru menimbulkan permasalahan baru. Misalnya, terselenggaranya Pemilu secara langsung menumbuhkan politik uang yang mengakar hingga di tataran lokal. Permasalahan tersebut semakin parah dengan kurang tercapainya kebijakan afirmatif dalam mengupayakan keterwakilan yang semakin merata, juga masalah lainnya.
Di sisi lain, reformasi partai politik tidak bisa hanya dilakukan oleh partai politik sendiri karena sifatnya yang masih pragmatis dan situasi permasalahan internal dan eksternal yang kompleks.
Lebih lanjut, Aisah memaparkan bahwa personalisasi partai politik menjadi salah satu masalah terkait dengan kondisi Parpol dewasa ini. Konflik yang timbul karena kentalnya personalisasi partai yang paling baru terjadi pada Partai Demokrat. Juga, sebelumnya dialami oleh Golkar, PAN, dan PPP. Gerindra dan PDIP, di sisi lain, memiliki personalisasi parpol yang kuat dan membawa keuntungan dalam konteks soliditas partai politik dalam jangka pendek. Tetapi, ketika figur sentral tersebut mundur dari kancah politik sementara tidak ada tokoh yang lebih kuat yang dapat menggantikannya, maka keretakan dapat terjadi dalam tataran internal. Hal tersebut sudah terbukti dari kasus yang dialami oleh partai Demokrat dengan konflik terkait AHY belakangan ini.
Menariknya, problem personalisasi partai ini tidak hanya muncul karena masalah internal, tetapi juga eksternal. Yaitu terkait dengan sistem presidensialisme yang memberikan karakter sistem politik yang personal, sementara sistem Pemilu memberikan ruang yang menstimulus personalisasi Parpol. Sehingga, reformasi partai politik tidak bisa dilakukan hanya oleh partai itu sendiri. Sebagai masyarakat sipil, pengawasan dan evaluasi menjadi poin penting dalam mengawal reformasi partai politik.
Kemudian, Djayadi Hanan merespons paparan Aisah dengan menyampaikan bahwa problem yang disebutkan sebelumnya menyebabkan partai tidak bisa menjalankan peranannya sebagai jembatan antara masyarakat dan negara. Justru, semakin lama hubungan Parpol dengan masyarakat menjadi semakin terlupakan seiring semakin dekatnya partai politik dalam kepentingan negara. Selain personalisasi, kuatnya oligarki dan lemahnya transparansi partai politik menjadi permasalahan yang memperparah melemahnya hubungan antara partai politik dengan masyarakat.
Survey nasional LSI pada Januari 2021 menemukan bahwa tingkat identifikasi partai (Partai ID) hanya berada di tingkat 12%. Secara rata-rata, tingkatan Partai ID dalam satu dekade terakhir hanya ada di tataran 10-15% saja. Itu artinya partai-partai yang ada sekarang tidak mampu menarik masyarakat untuk mengidentifikasi dirinya dengan parpol tersebut. Hampir 90% masyarakat mengklaim tidak ada kaitan dengan partai politik. Sementara, Partai ID itu sangat penting karena mempengaruhi eksistensi partai politik dalam Pemilu. Masyarakat yang tertarik dengan isu politik hanya sebesar 25,2%, sementara sisanya lebih tertarik pada isu apolitis. Tingkat kepercayaan publik terhadap DPR pun juga punya tren yang menurun selama satu tahun terakhir, yang juga berarti hubungan antara masyarakat dan partai politik semakin melemah.
Selain itu, orientasi ideologi partai juga menjadi masalah tersendiri bagi partai politik. Sulit bagi masyarakat untuk mengidentifikasikan dirinya dengan partai politik karena partai tersebut punya kemiripan dalam orientasi ekonomi. Perbedaan yang dimiliki oleh partai politik ada di aspek orientasi ideologi terkait isu keagamaan. Partai-partai yang religius (PPP, PKS, PAN) cenderung memiliki suara sebanyak 30%, dari Pemilu 2004 sampai sekarang.
Lebih lanjut, ada tren penurunan swing voters dari Pileg. Survey yang dilakukan oleh LSI dan SMRC menunjukkan bahwa pada Pemilihan Legislatif periode 2009-2014 angkanya mencapai 60,5%, kemudian pada tahun 2017 turun hingga 37,5%, terakhir survey pada Januari 2021 menunjukkan angka yang menurun pada persentase 25,4%. Jika tren ini terus terjadi, maka partai politik mengalami stabilitas dan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya reformasi dalam tataran partai politik. Tetapi keberadaan swing voters ini juga memperkuat argumentasi terkait dengan lemahnya hubungan partai politik dan masyarakat.
Faishal Aminuddin pun memaparkan bahwa di balik revisi UU Partai Politik yang terjadi setiap lima tahun sekali menjelang Pemilu, ternyata reformasi Partai Politik tersebut belum memberikan dampak yang signifikan dalam dinamika partai yang ideal. Di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, fluktuasi yang terlihat dalam dinamika partai politik adalah kontrol terhadap partai politik secara nasional. Pada era Orde Baru, kontrol tersebut merupakan aspek terendah dalam partai politik, dengan kohesi terhadap partai di tataran DPR yang mendominasi. Tren tersebut membaik pasca reformasi pada tahun 1998. Selain itu, kompetisi partai di tataran lokal naik signifikan pada era reformasi dan dinamikanya juga meningkat pada tahun 2010.
Kemudian, kontrol partai di tataran sub-nasional juga mengalami perubahan drastis pada awal reformasi. Perubahan tersebut mengidentifikasikan bahwa partai yang ada di Indonesia juga belum ideal. Cabinet share dalam partai politik di parlemen di Indonesia berada di antara 19-23. Di sisi lain, ada kecenderungan bagi partai politik untuk menghindari posisi oposisi. Secara umum, perubahan-perubahan itu menunjukkan bagaimana kontrol partai politik menjadi hal yang signifikan berubah.
Faishal menekankan, paling tidak ada tiga hal yang dapat dilakukan dalam agenda reformasi partai politik di Indonesia. Pertama, menentukan tipe partai politik yang ideal di Indonesia. Hal ini sangat terikat dengan bagaimana mendesain perubahan sistem. Kedua, perubahan sistem yang berpengaruh dalam meningkatkan kualitas partai. Misalnya, registrasi parpol sebagai peserta pemilu dimulai dari bawah. Hal ini menjadi alternatif untuk memangkas pengusaha politik dan memperkuat ke-khas-an di daerah. Kemudian memperjelas ideologi yang diperjuangkan oleh partai politik merupakan salah satu hal lainnya yang krusial bagi partai politik. Ketiga, partai politik harus menjamin anggota sebagai aset dimana karir-nya dapat terjaga.
Paparan terakhir disampaikan oleh Fajar Nursaid dengan menyampaikan pentingnya meningkatkan kualitas kaderisasi Parpol dalam peningkatan kinerja politik yang selama ini menjadi problem tersendiri. Kinerja Partai Politik memang tergolong buruk dan menyumbang skor rendah dalam demokrasi. Data Indeks Demokrasi Indonesia yang dipublikasikan oleh BPS menunjukkan dari tahun 2009 hingga 2019 cenderung tidak mencapai kinerja yang baik. Tren ini pun turut mempengaruhi bagaimana kinerja DPR yang selama periode yang sama terus menunjukkan kor yang buruk, walau pun memang terjadi peningkatan. Secara lebih mendalam, kepatuhan pada afirmasi menjadi hal yang menonjol dalam partai politik. Walaupun kaderisasi tidak mencapai angka yang diharapkan dengan adanya indikator musiman dimana partai politik cenderung melakukan kaderisasi hanya menjelang Pemilu saja.
Kemudian, orientasi partai politik dalam melakukan kaderisasi pun hanya berkisar pada hal-hal internal partai. Survei Tata Kelola Kelembagaan Partai Politik pada tahun 2008 menunjukkan bahwa pelatihan yang terkait dengan kaderisasi anggota partai politik hanya berfokus pada penguatan kapasitas organisasi partai yang meliputi public speaking, kewirausahaan, kampanye dan manajemen organisasi yang mana lebih dari 50% pengurus partai pernah mengikuti pelatihan tersebut. Hal tersebut berbeda terbalik dengan pendidikan politik bagi konstituen.
Lebih jauh lagi, terdapat pula gap dalam proses kaderisasi partai politik. Sebanyak 44,5% anggota memiliki target untuk menjadi pengurus di tingkat pusat. Tetapi karir mereka dalam partai politik terhambat oleh faktor dominasi senioritas (28,4%), sumber daya keuangan yang terbatas (25,5%), kaderisasi yang tidak jelas (18,6%), dan tidak disukai pimpinan (8,8%).
Tidak hanya itu, sentralisme yang sangat kuat pun menjadi permasalahan tersendiri dalam tataran partai politik di tingkat lokal. Di tambah lagi persepsi terhadap konflik internal terkait dengan Pilkada, pen-caleg-an, perebutan posisi kepengurusan partai. Hal tersebut menunjukkan pragmatisme kepengurusan partai politik. Terakhir, dalam agenda mereformasi partai politik, memperkuat pelembagaan partai politik dengan kaderisasi yang lebih berorientasi terhadap masyarakat serta peningkatan akuntabilitas publik menjadi faktor yang krusial. Demikian pula dengan memperkuat peran representasi di tingkat parlemen (de)