Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto saat menjadi tamu ‘Secangkir Kopi’ Politica News TV.
JAKARTA–Politicanews: Tugas utama Lembaga Sensor Film (LSF) adalah memastikan tayangan film yang beredar di tengah masyarakat tidak menimbulkan dampak negatif. Di masa lalu lembaga ini menjadi semacam algojo bagi para kreator film. Pemotongan (sensor) bagian film ‘tanpa ampun’ kerap dianggap tidak menghargai seni dan kreativitas oleh para pelaku industri perfilman.
Apakah LSF sekarang masih terkesan seperti itu?
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto menjelaskan, LSF sudah tidak seperti dulu lagi. Kini lembaga tersebut sudah kian terbuka dan sangat dialogis.
“Di era digital seperti sekarang, LSF lebih mengedepankan dialog,” kata Hardiyanto saat menjadi tamu acara ‘Secangkir Kopi’ di Politicanews TV beberapa waktu lalu.
Menurutnya, tugas LSF tidak hanya semata sensor menyensor. Tugas lain adalah melakukan pemantauan dan membangun komunikasi hubungan antar-lembaga yang mengurusi soal budaya sensor film.
LSF sendiri menjalankan amanah undang-undang perfilman. Menurut UU Perfilman No. 33 Tahun 2009 semua film yang akan dipertunjukan harus mendapat surat tanda lulus sensor dari LSF.
Di masa pandemi ketika banyak bioskop terpaksa berhenti beroperasi, ternyata tugas dan pekerjaan LSF tidak berkurang. Pada tahun 2020 saja total ada 39.863 judul film dari sekitar 36 ribuan judul film pada tahun sebelumnya.
Menurutnya, LSF tidak hanya menyensor film bioskop tapi termasuk juga teve, DVD, dan platform digital.
“Jadi meskipun film bioskop berkurang, tapi teve meningkat besar sekali,” katanya.
Dia menjelaskan, semua proses penyensoran dilakukan sama untuk film bioskop, televisi, dvd, ataupun platform.
“Semuanya diperlakukan sama, karena yang menyuplai tontonan kan produser juga. Mereka sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Prosesnya sama, diajukan dulu ke LSF, ditonton lalu keluar surat lolos dari LSF.” jelasnya.
Mengedepankan dialog
Era digital mendorong LSF menjadi lebih terbuka. Pasalnya, menurut Hardiyanto ini disebabkan dua hal.
Pertama, karena sekarang semua orang termasuk pelaku industri film sudah paham tentang right atau hak cipta. Jadi, LSF juga harus menyadari ini.
Kedua, sekarang sudah masuk era digital. Kalau dulu, di era seluloid guntingan film bisa disimpan LSF, tapi di era digital seperti sekarang tidak bisa lagi.
Makanya, LSF sekarang lebih mengedepankan dialog dalam melakukan sensor. LSF sudah tidak lagi memotong-motong film sebagai sebuah karya tapi cukup memberikan catatan sebagai rekomendasi. Itu pun masih bisa didialogkan.
“Kami cuma kasih rekomendasi untuk revisi, keputusan kami serahkan ke pembuat dan pemilik film. Pembuat juga bisa datang ke LSF untuk berdialog jika rekomendasi kami dianggap kurang pas,” katanya.
Pendaftaran Online Lebih Cepat
Saat ini untuk pengurusan sensor film jauh lebih mudah dan simpel karena bisa dilakukan secara online.
“Tinggal masuk ke akun yang sudah terdaftar lalu masuk dan daftarkan judul serta durasinya, dan seterusnya,” kata Hardiyanto.
Surat tanda lulusnya pun bukan lagi berupa kertas dengan tanda tangan basah. Tapi sudah bisa dikirim lewat email dan menggunakan barcode sehingga bisa diprint sendiri oleh pemohon. Jadi lebih cepat.
Jika dulu dibutuhkan rata-rata dua hingga tiga hari untuk proses sensor film, sekarang pagi hari diajukan, sorenya sudah keluar hasil. Dari luar Jakarta, cukup mengirimkan file melalui google drive.
Ke depan, LSF berharap masyarakat mampu melakukan sensor terhadap tontonannya sendiri sesuai dengan klasifikasi usia.
“Itu yang sekarang juga sedang kami lakukan. Mengkampanyekan literasi tentang sensor di masyarakat. Sehingga nanti ketika masyarakat literasinya sudah bagus, tenang kita, tidak perlu mengawasi terus menerus,” kata Ketua LSF.