Politicanews-, Konflik dan krisis dunia yang kian kencang mengharuskan banyak negara untuk segera melakukan antisipasi sekaligus persiapan untuk kepentingan domestik. Seperti disebut oleh PBB bahwa situasi global yang saat ini sudah seperti Perfect Storm, atau badai tingkat lima yang mengharuskan negara-negara yang terdampak secara langsung maupun tidak untuk bersiap dengan segala resiko yang timbul akibat krisis tersebut. Resiko yang salah satunya adalah berkaitan dengan ketersediaan pangan yang menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia.
Bagi Indonesia, kendati sejauh ini krisis dunia yang terjadi bisa dihadapi yang terlihat dari data makro ekonomi yang tetap tumbuh positif. Ditambah pertambahan devisa yang juga stabil sepanjanga 25 bulan terakhir sedikit banyak menggambarkan bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah sudah tepat.
Namun berpuas diri terhadap apa yang dilakukan tentu bukan pilihan bijak, mengingat krisis lain yang secara berantai telah mempengaruhi sebagian bangsa-bangsa di dunia, membuat masalah jauh dari kata selesai dan makin tidak menentu.

Kondisi yang tidak serba menentu tersebut memaksa pemerintah sejak jauh hari telah membuat berbagai kebijakan dalam kerangka persiapan jika krisis global terus memburuk. Salah satu bentuk persiapan yang dilakukan adalah dengan memperkuat ketahanan pangan atau stok untuk konsumsi masyarakat dalam negeri.
Keputusan tersebut tidak lepas dari fakta dimana tidak kurang dari 17 negara telah membuat kebijakan larangan ekspor barang dan produksi domestik sekaligus memastikan lebih adanya kepastian stok untuk masyarakat mereka. Jenis produk dan barang yang mengalami penangguhan pengiriman antara lain gandum, ayam, dan produk hortikultura lain, termasuk pupuk.
Situasi yang terjadi tersebut, menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto membuat Indonesia harus betul-betul berkonsentrasi terhadap ketersediaan pangan dalam negeri. Guna memastikan pangan tersedia di masyarakat ada tiga langkah yang diambil pemerintah, mulai dari mengamankan suplay, lakukan diversifikasi pangan dan langkah-langkah yang sifatnya efisiensi.
“Kita patut bersukur dalam tempo tiga tahun terakhir sebagai salah satu negara konsumen beras terbesar dunia, Indonesia tidak perlu melakukan impor beras”, kata Airlangga Hartarto saat berbicara dalam acara “Panen Raya Nusantara” di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sebaliknya, dengan surplus yang terjadi atas perintah Jokowi Indonesia berhasil mengekspor beras sebanyak 250 ton. Sebuah prestasi yang cenderung senyap dari publikasi karena perhatian banyak tersedot pada penganan masalah pandemi.
Di sisi lain, Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini mengharapkan adanya peningkatan pada sektor pangan lain seperti produk hasil pertanian dan kelautan. Tujuannya agar ketergantungan terhadap impor protein bisa dikurangi.
“Nah, ini harus kita dorong, budi daya ini harus didorong untuk menggantikan yang tangkap, semua protein baik itu dari ikan dan udang. Badan pangan harus mempromosikan agar orang Indonesia tidak tergantung pada daging impor”, tukas Airlangga Hartarto.
Dikatakan pila oleh Airlangga Hartarto, ekonomi RI dalam dua kuartal terakhir tumbuh positif yakni 5 persen, walaupun kasus COVID-19 relatif 600 per hari. Neraca perdagangan Indonesia juga terus menerus surplus di 35,34 miliar pada 2021.
Bahkan pada Mei 2022, di mana Indonesia menghentikan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya, ekspor tetap surplus 19,79 miliar dan tumbuh 27 persen. “Tren ekspor yang terus meningkat ini harus terus kita jaga, karena ini salah satu engine daripada pertumbuhan ekonomi kita”, tutup Airlangga Hartarto. (wemfauz; foto