Ketum PAN Tegaskan Kawal Moderasi

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan

Jakarta–Politicanews: Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan berkesempatan menyampaikan pidato kebangsaan dalam rangka peringatan 50 tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Kamis (19/8). Di forum itu, dia menegaskan komitmen PAN untuk mengawal moderasi.

Zulhas, demikian sapan Ketua Umum PAN itu, menyampaikan bahwa karakteristik dan jati diri Indonesia sejatinya adalah moderat, sesuai kesepakatan para pendiri bangsa dalam mewujudkan kemerdekaan.

“Itulah karakteristik jati diri Indonesia, moderat,” kata Zulhas yang menyampaikan pidatonya secara daring atau virtual.

Menurut Zulhas, Indonesia disusun berdasarkan konsensus, kesepakatan, titik tengah. Guyub, rukun, gotong royong. Bukan sikap ingin menang sendiri atau ekspresi politik yang ekstrem mempertentangkan satu sama lain.

Dia menjelaskan, pada mulanya ada keinginan pihak tertentu untuk tampil sebagai wajah Indonesia. Namun pada akhirnya semua pihak sepakat untuk melakukan kesepakatan dengan penuh kerendahan hati dan bertemu pada titik tengah untuk mewujudkan kemerdekaan bersama.

Zulhas menyampaikan hal tersebut sebagai refleksi dalam rangka menuju Indonesia Emas 2045, untuk kembali pada cita-cita awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berorientasi pada persatuan dan kesatuan.

“Berada di tengah menandakan stabilitas dan bisa fokus menyongsong cita-cita Indonesia menjadi negara yang maju,” ujarnya.

Wakil Ketua MPR RI itu, menyoroti soal perbedaan yang justru ditajamkan oleh satu sama lain belakangan ini.

Menurutnya, ketika pemikiran politik diracuni oleh logika elektoral, cenderung akan menghalalkan segala cara, termasuk memecah belah bangsa dengan politik SARA atau politik identitas.

“Perbedaan keimanan kembali disoal, wacana Tionghoa-Pribumi dimunculkan kembali, mayoritas minoritas dibenturkan, aku Pancasila dikonotasikan dengan kamu bukan Pancasila,” ujarnya.

Zulhas juga mengingatkan, saat Piagam Jakarta disepakati, rumusan Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, disepakati untuk berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut dia, hal tersebut tidak dipahami sebagai kekalahan umat Islam melainkan wujud kerendahan hati para ulama saat itu untuk mewujudkan Indonesia sebagai rumah besar bagi semua pihak.

“Ulama-ulama dengan rendah hati untuk kepentingan yang lebih besar menghapus tujuh kata asal Indonesia Merdeka dan Indonesia Bersatu,” ujarnya.

Menurutnya, jika bangsa Indonesia konsisten dan memegang teguh gagasan Indonesia yang bersatu, berdaulat, berorientasi kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka impian untuk menjadi negara besar dengan prestasi gemilang akan terwujud. (it)

Tinggalkan Balasan