Politicanews-, Prof Bambang Cipto, pengamat hubungan internasional dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mencatat bahwa Indonesia menghadapi situasi yang sulit dalam masa presidensi G20-nya dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang hingga kini belum berakhir.
Namun, dirinya meyakini terdapat dua pertanda baik yang mengisyaratkan kepemimpinan Indonesia sukses hingga pertemuan puncak. Pertama adalah diplomasi yang sudah dilakukan Indonesia beberapa waktu terakhir, baik oleh Presiden Joko Widodo maupun Menlu, melalui sejumlah kunjungan dan keterlibatan di pertemuan penting.
Kedua, kehadiran delegasi pemain utama seperti Amerika Serikat, China dan Rusia secara langsung ke Bali, dalam pertemuan pada minggu ini. Itu merupakan satu isyarat bahwa ada keinginan dari kedua belah pihak untuk mencari solusi dalam situasi yang genting ini.

“Mudah-mudahan ini bisa dimainkan Indonesia untuk mencari terobosan agar kedua negara ini bisa lebih sabar menerima kenyataan dan melanjutkan pertemuan G20 pada puncaknya nanti itu bisa lebih baik”, ujar Bambang Cipto.
Bambang Cipto yang menerima gelar master dari Ohio State University, Amerika Serikat, pun mengingatkan bahwa ketegangan yang terjadi antara Amerika Serikat dan Rusia sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang sejak era Perang Dingin.
“Jadi sangat mustahil bagi kedua negara untuk saling memahami dan menerima langkah politik luar negeri yang diambil. Dalam situasi tersebut, Indonesia memiliki keuntungan karena posisinya yang berada di luar arena konflik. Walaupun sulit, kita tampaknya dihargai oleh kedua belah pihak. Baik Rusia maupun Amerika Serikat menghargai Indonesia sebagai negara yang (berada) di luar persaingan kedua negara besar itu, sehingga kita bisa mengambil sikap nonblok yang bebas aktif”, ujar Bambang Cipto.
“Dan ini tentunya adalah satu prinsip yang bisa dimaksimalkan untuk menjembatani konflik yang tak terselesaikan ini”, tambah Bambang Cipto. Seluruh pihak, dapat memahami bahwa harapan kedua negara bertentangan. Amerika berharap Rusia kalah dalam perang kali ini, sementara Rusia meminta Amerika menghentikan pelebaran pengaruh di kawasan Eropa.
Indonesia, di sisi yang berbeda, harus meyakini bahwa diplomasi adalah cara terbaik menemukan jalan keluar. Kapasitas Menlu Retno Marsudi, menurut Bambang Cipto, cukup besar untuk mengambil peran ini. Salah satu buktinya, adalah peran aktif Indonesia di Afghanistan dalam beberapa waktu terakhir.

“Itu modal besar bagi Indonesia untuk bisa menemukan solusi. Menjadi penengah di antara dua raksasa ini. Saya berharap Bu Retno Marsudi mampu memimpin pertemuan kali ini dan berhasil menemukan terobosan, dan saya optimis akan ditemukan solusi dalam pertemuan para Menlu kali ini”, ungkap Bambang Cipto.
Saat ini kemampuan diplomasi Indonesia menghadapi ujian, ketika para menteri luar negeri anggota G20 bertemu di Bali (8/7). Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berupaya merangkul semua pihak, dan meredam dampak politik perang Rusia-Ukraina di ruang pertemuan.
Para menteri luar negeri negara anggota G20 pun memulai pertemuan di Bali, dengan semua diplomat negara kunci hadir. Aroma perang Rusia-Ukraina mewarnai pertemuan tersebut, bahkan sejak sebelum acara resmi dimulai.Menteri Retno nampaknya menghadapi tugas berat, tidak hanya untuk menyukseskan jalannya pertemuan, tetapi juga untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi seluruh pihak, khususnya negara-negara anggota G7 dan Rusia di sisi yang berbeda.
Karena itulah, dalam pidato pembukaannya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengingatkan bahwa dunia menghadapi banyak persoalan, dan menunggu komitmen kebersamaan seluruh negara.
“Di tengah tantangan-tantangan besar. Dunia belum pulih dari pandemi, tapi kita sudah dihadapkan dengan krisis lain, perang di Ukraina. Dampaknya dirasakan secara global pada sektor pangan, energi, dan ruang fiscal”, kata Retno Marsudi.

Negara berkembang dan berpenghasilan rendah, kata Retno, adalah yang paling terkena dampak. Pertumbuhan global diproyeksikan melambat menjadi 2,9 persen pada 2022, sementara inflasi mungkin mencapai 8,7 persen untuk negara-negara berkembang.
“Saya berharap, dari diskusi kita akan menemukan cara untuk bergerak maju”, kata Retno Marsudi.
Selain Rusia, para pemain kunci seperti Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga hadir dalam acara tersebut. Meski bukan anggota, Ukraina juga turut diundang, namun mengikuti sesi yang berlangsung secara daring.
Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss yang sempat bertemu dengan Retno Marsudi, harus mempersingkat keikutsertaannya karena pengunduran diri Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson.
“Saya mengerti bahwa banyak dari Anda telah mengambil upaya ekstra untuk menghadiri pertemuan ini. Kehadiran Anda hari ini mencerminkan dukungan Anda kepada Kepresidenan G20 kami dan persahabatan Anda dengan bangsa Indonesia. Ini juga mencerminkan komitmen Anda terhadap G20, untuk menjadikan G20 relevan dan penting”, tambah Retno Marsudi.
Hadir pula perwakilan sejumlah negara kepulauan kecil seperti Pacific Island Forum (PIF) dan Komunitas Karibia (Caricom) serta negara berkembang seperti Uni Afrika. Terkait kehadiran mereka, Retno memberi alasan, “Karena di dunia yang terpolarisasi ini, kepentingan mereka juga penting dan keprihatinan mereka juga menjadi perhatian kita”.

Para menteri luar negeri akan bertemu dalam dua sesi utama. Pertama adalah penguatan multilateralisme, yang fokus pada bagaimana G20 dapat memastikan multilateralisme berperan dalam menghadapi tantangan global saat ini. Kedua adalah sesi tentang mengatasi ketahanan pangan dan energi, dan akan fokus pada bagaimana G20 dapat berkontribusi sebagai bagian dari solusi untuk krisis pangan dan energi saat ini.
Retno Marsudi mengingatkan, tidak ada pihak yang dapat memecahkan persoalan itu sendiri, tantangan global membutuhkan solusi global. Semua negara, kata Retno Marsudi, memiliki tanggung jawab menjaga multilateralisme dan mewujudkannya. Multilateralisme adalah satu-satunya mekanisme di mana semua negara, terlepas dari ukuran dan kekayaan, berdiri di atas pijakan yang sama dan diperlakukan sama.
“Suara semua negara, besar dan kecil, utara dan selatan, maju dan berkembang, harus didengar”, ujar Retno Marsudi.
“Dunia sedang memperhatikan kita, jadi, kita tidak boleh gagal. G20 harus menjadi mercusuar solusi bagi banyak tantangan global. Hanya dengan begitu G20 dapat menjadi relevan dan bermanfaat bagi dunia pada umumnya, tidak hanya para anggotanya”, ujar Retno Marsudi lagi di akhir pidatonya.
Sementara itu, Wakil Uni Eropa (UE) menyebut Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov tidak menghormati pertemuan G20 karena meninggalkan ruangan ketika peserta lain masih berbicara. Perwakilan Tinggi EU Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan (HRVP) sekaligus Wakil Presiden Komisi Eropa Josep Borrell itu mengomentari Lavrov yang segera meninggalkan ruang Pertemuan Menlu G20 (G20 Foreign Ministers’ Meeting/FMM) yang diselenggarakan di salah satu hotel di Nusa Dua, Bali, setelah ia selesai berbicara menyampaikan pandangan Rusia.

“Lavrov tidak mendengarkan pemaparan dari menteri lain yang berbicara setelah gilirannya. Dia berbicara kemudian pergi tanpa memberikan penjelasan apa pun. Tidak mendengarkan menteri yang lain (berbicara) dan menghindari segala jenis interaksi maupun diskusi”, kata Borrell.
Sikap Lavrov, menurut Borrell, menunjukkan bahwa dia tidak menghormati pertemuan G20 dan tidak hadir untuk mencari solusi atas konflik Rusia dengan Ukraina. Konflik Ukraina menjadi salah satu sorotan dalam pertemuan tersebut sebagai salah satu tantangan global saat ini, selain pandemi Covid-19.
Borrell mengungkapkan bahwa pertemuan itu berlangsung secara sopan, tetapi juga dalam suasana emosional karena membahas masalah hidup dan mati orang-orang dalam perang di Ukraina. Borrell juga menyinggung krisis pangan, sebagai dampak perang, yang akan mengejutkan banyak negara di dunia jika perang tidak segera diakhiri. “Dan bukan hanya Ukraina yang menderita karenanya”, ujarnya.
Sementara Menlu Indonesia Retno Marsudi menyebut penyelenggaraan FMM di bawah Presidensi G20 Indonesia berjalan sukses dengan kehadiran semua menlu G20 secara fisik guna mendiskusikan berbagai isu yang menjadi tantangan global saat ini. “Adalah sebuah achievement, mendudukkan semua key players dalam satu ruangan untuk berbicara”, katanya.
“Diskusi dilakukan dengan sangat terbuka dan kita tahu sejak awal bahwa kita semua memiliki posisi yang berbeda-beda tetapi talk itu adalah yang paling penting”, kata Retno Marsudi menambahkan.
Secara implisit, Retno Marsudi membenarkan bahwa Lavrov meninggalkan ruangan, tetapi hal itu dilakukan juga oleh menlu lain yang keluar masuk ruangan pertemuan untuk melakukan pertemuan bilateral dengan mitranya di sela-sela pertemuan G20 tersebut. Co-Sherpa G20 Indonesia Dian Triansyah Djani menyebut tidak ada delegasi yang melakukan walk out selama pertemuan berlangsung.

Kalaupun ada yang melakukannya, kata Dian, walk out merupakan suatu hal yang normal dalam dunia diplomasi. Tetapi yang penting bukan merupakan upaya walk out terhadap kepemimpinan Indonesia (di G20), kata Dian.
Justru dengan kehadiran semua menlu G20 di Bali menunjukkan kepercayaan kepada presidensi Indonesia untuk dapat melakukan pertemuan secara netral, mengingat rekam jejak politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dan selalu berusaha mencari solusi atas permasalahan dunia. Ini suatu modal yang berharga, kata Dian.
Di bawah presidensi Indonesia, FMM G20 membahas dua isu utama yaitu multilateralisme serta pangan dan energy. G20 adalah sebuah platform multilateral strategis yang menghubungkan 20 ekonomi utama dunia dan memegang peran strategis dalam mengamankan masa depan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi global.
G20 terdiri dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yaitu Indonesia, Rusia, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa. (wemfauz; foto humaskemenlu)