Gus Hilmy : Keraton Ngayogyakarta Representasi Utama Islam-Jawa

Politicanews-, Apa yang kita lihat hari ini menunjukkan bahwa Keraton Ngayogyakarta adalah representasi utama apa yang disebut Islam-Jawa atau Islam kejawen. Islam kejawen itu bukan Islam abangan. Kalau abangan itu, tradisinya yang lebih dikuatkan dan dipelihara. Sedang Islam kejawen, justru mengakulturasi tradisi Jawa dan ajaran Islam. Dan itu direpresentasikan oleh Keraton Ngaoyogyakarta. Keraton itu mengislamkan Jawa, mendakwahkan Islam kepada masyarakat Jawa.

Demikian jelas anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A., yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat di Aula Islamic Center Lantai II Masjid Jogokariyan, Yogyakarta (27/07), dalam Workshop Seni dan Budaya Islam yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY bertemakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dalam Perspektif Islam.

Menurut Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A atau yang biasa dipanggil Gus Hilmy, Keraton Ngayogyakarta merupakan representasi dari Islam-Jawa. Berbeda dengan abangan yang lebih mengedepankan tradisi, Keraton Yogyakarta justru mengharmoniskan antara tradisi Jawa dan ajaran Islam, memakmurkan dan mendakwahkan Islam.

Untuk dapat mendukung pelestarian dan pengembangan kebudayaan, pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut menyampaikan saran kepada MUI untuk menggunakan sudut pandang Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Tentang Pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan. Dan dalam Perdais Pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan, ada 7 objek kebudayaan yang bisa digunakan oleh MUI maupun ormas Islam lainnya sebagai pintu untuk ikut melestarikan dan mengembangkan Islam dan kebudayaan di Yogyakarta.

“Ketujuhnya adalah nilai-nilai budaya, pengetahuan dan teknologi, bahasa, adat istiadat, tradisi luhur, benda, dan seni”, begitu saran dari salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta ini.

Menarik jauh ke belakang, pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut menyampaikan sejarah panjang Mataram Islam yang memiliki hubungan dengan Kerajaan Demak-Pajang. Dari mulai tanah pardikan Mataram, lalu bertransformasi menjadi kerajaan, kemudian pecah atas Perjanjian Giyanti, hingga berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Workshop dipandu K.H. Muhammad Jazir ASP, dan dihadiri pula KRT. H. Rintaiswara dan KPH Kusumo Prasastho. Masing-masing mewakili Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Berkenaan dengan penyataan tersebut, KRT. H. Rintaisworo menyampaikan tentang berbagai unsur-unsur keislaman yang terdapat dalam Keraton Yogyakarta. Tak hanya dari unsur bangunan fisik dan tata ruang, melainkan juga ajaran, perilaku, busana, sastra, pengetahuan, dan upacara-upacara yang hingga hari ini masih bisa ditemukan.

“Keraton Ngayogyakarta adalah negara kerajaan Jawa-Islam. Apa saja di dalam Keraton unsurnya selalu Jawa, yang dipadukan dengan ajaran Islam rahmatal lil alamin dan juga berakhlakul karimah”, ujar abdi ndalem keraton tersebut.

Pada kesempatan tersebut, Ketua MUI DIY Prof. Dr. Machasin, M.A. menyampaikan pesan perdamaian dan memupuk rasa cinta antar sesama. Selain itu, ia juga mengharapkan MUI maupun masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan mengembangkan budaya di Yogyakarta. (ptb; foto humasdpdri)

Tinggalkan Balasan