Sebuah Refleksi Hari Penyiaran Nasional
Achmad Zamzami*
Selama ini orang mengenal 1 April sebagai April Mop. Namun kalangan penyiaran di tanah air mempunyai arti lain. Tanggal tersebut adalah didirikannya radio pertama milik bangsa Indonesia. 1 April 2021 Penyiaran Indonesia genap berusia 88 tahun sejak SRV (Solosche Radio Vereeniging) mengudara pertama kali pada tahun 1933 di Solo, Jawa Tengah.
Napak Tilas sejarah perkembangan penyiaran di Indonesia menggambarkan upaya demokratisasi dalam dunia penyiaran. Pada mulanya, radio hanya bisa dinikmati di lingkungan kraton, seperti di Solo dan Yogyakarta, kemudian sampai ke pendopo-pendopo hingga sampai pada masyarakat luas. Upaya demokratisasi ini tidak lepas dari tangan Ketua Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) saat itu, Soetarjo Kartohadikusumo.
Tidak hanya upaya demokratisasi, kehadiran penyiaran melalui radio menyumbang narasi kritis di dalamnya, utamanya adalah penanaman budaya dan nilai nasionalisme yang ditandai dengan berdirinya radio ketimuran Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegoro VII. Hal ini bisa dilihat dari tesis-antitesis keberadaan radio dalam makalah bertajuk Mengkaji Kembali Stasiun Radio SRV oleh Hari Wiryawan sebagai tanggapan terhadap disertasi Yampolsky.
Saat itu, KGPAA Mangkunegoro VII yang melihat perlunya media sebagai pemersatu dan perjuangan bangsa. Artinya SVR merupakan radio pertama yang dimiliki oleh orang Indonesia. Ketertarikan Mangkunegoro VI pada dunia penyiaran berawal ketika menerima persembahan dari orang Belanda berupa pesawat radio penerima yang disebut receiver pada tahun 1927. Sejak itulah, Magkunegoro VI meminta kepala dinas Pekerja Umum Praja Mangkunegaran, Raden Mas Ir. Sasito untuk mengelola stasiun radio.
Dimulai 1 April 2009, peneliti sejarah Penyiaran Indonesia Hari Wiryawan yang saat itu menjabat sebagai Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Propinsi Jawa Tengah menginisiasi melaksanakan perayaan Deklarasi Hari Penyiaran dan Bapak Penyiaran Nasional bersama insan penyiaran di Kota Surakarta bersama masyarakat. Yang berbunyi;
Deklarasi Hari Peyiaran dan Bapak Penyiaran Nasional
Bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar Menghargai karya anak bangsa sendiri dan jasa para pahlawan
Bahwa di kota Surakarta tanggal 1 April 1933 sejumlah anak bangsa telah medirikan lembaga penyiaran modern yang pertama milik bangsa Indonesia yaitu Solosche Radio Vereenering (SRV), atas prakarsa Sri Mangku Negoro VII. SRV memiliki semangat kebangsaan yang kuat, professional dan mampu bersaing dengan lembaga penyiaran Belanda.
Bahwa hingga saat ini di Pemerintahan Republik Indonesia belum menetapkan adanya Hari Penyiaran Nasional, dan Bapak Penyiaran Indonesia.
Kami warga kota Surakarta dan Masyarakat Penyiaran Surakrta berpandangan perlu adanya penetapan Hari Penyiaran Nasional dan Bapak Penyiaran Penyiaran Indonesia sebagai penghargaan kepada dunia penyiaran atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan nasional baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Kami warga Kota Suarakarta dan masyarakat Penyiaran Surakarta menguslkan kepada pemerintah Pusat agar hari lahirnya SRV tanggal 1 April di tetapkan sebagao Hari Penyiaran Nasional dan Prakarsa SRV yaitu Sri Mangkunegoro VII ditetapkan sebagai Bapak Penyiaran Indonesia.
Surakarta, 1 April 2009
Deklarasi tersebut di tandangani oleh beberapa Tokoh di antaranya adalah Wakil Walikota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, Ketua DPRD Kota Surakarta Hariadi Saptoni, Sesepuh Penyiaran Solo H. Soesilo Moeslich, HS Sumaryono, Kepala Monumen Pers Nasional H. Slamet Haryono, Kepala Biro PariwisataPra Mangkunegara KRMT. Trenggono, Drs. Soedarmono Sejarawan UNS, Pakar Komunikasi Penyiaran Dr. Andik Purwasito DEA, Budayawan Gesang Martokusumo, Waliyah dari seniman, Kepala Stasiun LPP RRI Cabang Suarakarta Dra. Saraswati, Ketua Forum Komunikasi Penyiaran Solo Raya Suwarmin. S.Sos., Ketua PRSSNI Cabang Surakarta Moh. Miftahudin dan Anggota KPI Daerah Jawatengah sekaligus penggagas Hari Penyiaran Nasional Hari Wiryawan.
11 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 1 April 2010 telah diadakan Deklarasi Hari Penyiaran Nasional secara nasional oleh para pemangku kepentingan di bidang penyiaran, dan untuk mewujudkan tujuan. Hari Wiryawan yang merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam mengawal Penetapan Hari Penyiaran Nasional di sahkan oleh pemerintah, melalui Walikota Solo yang saat itu dijabat oleh Joko Widodo membantu proses Birokrasi deklarasi Hari Penyiaran skala nasional. Jokowi membuat surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk deklarasi Hari Penyiaran skala nasional pada bulaan Januari 2010).
Akhirnya deklarasi tingkat nasional terselenggara di Bale Tawangarum, Balai Kota Solo. Acara itu dihadiri Radio Republik Indonesia (RRI) yang wakili oleh Ir. Bimo Bayu Nimpuno, MBA sebagai Direktur RRI, Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) Hendra Budi Rachman sebagai Direktur, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) Prof. Sasa Djuarsa Sendjaya, Hari Wiryawan sebagai penggagas Hari Penyiaran Nasional, serta seluruh perwakilan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPI Daerah), insan penyiaran dan masyarakat sekitar.
Beberapa tahun berjalan peringatan Hari Penyiaran Nasional selalu di laksanakan oleh Komisi Penyairan Penyairan Indonesia yang di rangkai dengan kegiatan seperti Seminar Nasional yang dibarengi dengan kegiatan kooordinasi antar KPI Pusat dan KPI Daerah Rapat Koordinasi Nasional Komisi Penyiaran Indonesia, namun tidak ada kejelasan, perayaan itu tak tersorot karena belum ada legallitas. Seolah pemerintah seakan tak peduli dengan sejarah penyiaran yang sangat penting.
Tak patah arang, Hari Penyiaran Nasional yang tak kunjung ditetapkan menjadi menarik lantaran selalu berkaitan dengan Jokowi. Saat dideklarasikan, ia menjabat sebagai Wali Kota Solo dan saat ia menjadi presiden yang seharusnya tidak sulit untuk menetapkan hari itu.
Berawal tahun 2015 yang saat itu KPI Pusat di Komandani oleh Judhariksawan, berkomitmen mengawal penetapan Hari Penyiaran Nasional segera di teken oleh Presiden RI. KPI Pusat bergerak cepat dengan malakukan Rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam rangka tindak lanjut tentang usaha penetapan Hari Penyiaran Nasional yang diwakili oleh Anggota KPI Pusat Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Amirudin.
Rapat kembali digelar tahun 2016 yang melibatkan KPI Pusat, Kemenkominfo, dan juga perwakilan dari Kemensesneg dari KPI di wakili oleh Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat Periode 2013-2016, Bekti Nugroho
Periode 2013-2016 usai dan periode 2016-2019 di nahkodai pemuda asal Padang Yuliandre Darwis. Namun, demi terlaksanannya tongkat estafet Andre berkomitmen saat itu akan mengawal Hari Penyiaran Nasional. Sambut bergayung tepatnya pada 19 Juli 2017 rapat kembali di gelar dengan Kemenkominfo, dan juga perwakilan dari Kemensesneg yang di wakili oleh Ubaidillah Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Periode 2016-2019 yang di laksanakan di Kantor Kemenkominfo. Dilanjutkan dengan pembahasan Ijin Prakarsa kepada Presiden RI mengenai penetapan Hari Penyiaran Nasional.
Di tengah riuh dunia penyiaran yang masih membutuhkan perbaikan sana-sini, barangkali penetapan Hari Penyiaran Nasional pada 1 April menjadi pijakan yang kuat. Sembilan tahun lamanya menunggu berbaagai macam usaha dilakukan baik dari penggagas Hari Penyiaran, Stakehoder Penyiaran maupun yang dilakukan KPI, sejak deklarasi Hari Penyiaran Nasional di Solo pada 2010, akhirnya Hari Penyiaran Nasional ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Maret melalui Keputusan Presiden No 9 Tahun 2019, dan ini setidaknya melatuk lokus menuju penyiaran yang paripurna.
Upaya-upaya perbaikan regulasi musti dilakukan dengan segera. Tarik ulur RUU Penyiaran, yang hingga sampai saat ini belum menemukan titik terang, perlu dikawal oleh segenap insan penyiaran. Hal ini berkenaan dengan kontekstualisasi regulasi dengan perubahan zaman digitalisasi yang terus bergerak cepat.
Isu-isu krusial seperti pengaturan lembaga rating yang hingga saat ini menjadi berhala penyiaran, digitalisasi penyiaran, pengaturan iklan, siaran lokal melalui sistem stasiun jaringan dan tentunya adalah penguatan kelembagaan KPI adalah sedikit isu yang barangkali bisa dijawab melalui revisi regulasi penyiaran dalam RUU Penyiaran.
Dalam konsideran UU No 32/2002 ditegaskan bahwa Lembaga Penyiaran memiliki peran penting dalam kehidupaan sosial, budaya, politik dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikam, hiburan, serta control dan perekat sosial.
Segenap insan penyiaran tentu berharap, penetapan Hari Penyiaran Nasional tidak sekadar menjadi lonceng yang berbunyi setiap 1 April tiba, tapi menjadi pengingat bahwa penyiaran adalah bagian penting dalam upaya penciptaan ruang publik yang demokratis dengan menghadirkan penyiaran yang edukatif dan mendorong integritas nasional.
Selamat Hari Penyiaran Nasional Ke-88
*Pegiat Literasi / Asisten Ahli Bidang Kelembagaan KPI Pusat 2013 s/d 2019